Senin, 28 Januari 2008

Siang itu. Aku atau Kamu yang Bingung??

Malam itu tak ada pilihan. Bumi Berantakan-nya Frantz Fanon buat kening berkerut. Tertatih mendaras kata per kata. Ada jeda beberapa kali. Jempol berulang memijit kening, naik-turun. Ada jeda sekali. Pesan masuk ke handphone, dikirim seorang teman. ”U know why do God makes spaces between our fingers Coz someday, some1 will sent 4 us 2 cover those empty spaces by holding our hands forever…”. Malam beri juga saya waktu buat tersenyum.
Pening masih berkitar di kepala. Garis hitam menoreh kantung mata bagian bawah. Secangkir kopi dan sebatang sigaret saya bawa ke lantai atas. Ibu duluan di sana. Centang perenang kami ngobrol. Berbagi asbak, dikibari kepulan asap sigaret merek yang sama. Dia sedang kesal dengan adiknya.
Agak terlambat saya baca pesan pertama hari itu. ”AbsoluTely kkks..tgl telf gw ajah..mw dmn? Jam brapa?” 23.01.2008, 07:32. +62817901xxxx. Jam sepuluh lewat beberapa menit. Angkat telepon sampai redial tiga kali. Tak ada respon.
Ada janji yang harus ditepati. Hari ini, dengan beberapa teman kosan, saya akan liburan ke Jogja. Berangkat dari Jatinangor.
Bus kota lenggang. Saya harus maklum. Sesiang ini sopir masih juga malas memacu gas. Sigh, baru beranjak 500 meter bus berhenti lagi. Dua pemuda naik, satu membawa gitar, mulai memetik. Temannya bernyanyi dengan suara yang tak bakal lolos kontes vokal paling amatir sekalipun.
Malam ini kusendiri, tak ada yang menemani. Seperti malam-malam yang sudah-sudah (The Rock, Munajat Cinta).
Lima menit sudah. Bus bergerak lamat. Dikejar seorang perempuan berkaus hitam. Kaki kananya menjejak kukuh di aspal. Hupp, kaki kirinya berayun. Coba memijak lantai bus. Tangan kiri meraih pegangan besi di pintu bus. Tubuh gempalnya berayun, menyesuaikan laju bus. Rambut panjangnya tertiup angin. Tak lama, dia duduk di kiri saya. Memangku ukulele kecoklatan penuh stiker, di paha. Kami berdua saja di jejer bangku paling belakang.
Pengamen masuk lagu kedua, ganti lagu ketiga. Selesai hitung uang dalam gelas aqua, penyanyi turun. Gitaris tak turut. Duduk di pojokan, samping kiri si perempuan. Berdekatan. Rebah kepala si perempuan di bahu gitaris jalanan. Diembus semilir angin. Matanya menyipit, terus mengatup. Entah apa di kepalanya. Mungkin benak merdu bersenandung.
Kuberikan padamu setangkai kembang pete. Tanda cinta abadi, namun kere.. Cinta kita cinta jalanan yang sombong menghadang keadaan. Semoga hidup kita bahagia. Semoga hidup kita sejahtera..(Kembang Pete, Iwan Fals)
Ahh, saya tersenyum cemburu. Manis sekali laku kalian. Huff, ingat omongan teman perempuan saya di telepon, beberapa menit lalu. ”Aduh, jangan sekarang. Gw baru bangun, rambut gw juga lagi jelek. Belum ke salon.”
Di sebuah pertokoan saya turun. Cari ATM, lalu naik ke lantai paling atas, tempat sebuah toko buku. Beberapa pasang pemuda berkasihan saya dapati. Masih berbaju seragam, hilir-mudik.
Murung raut penjaga toko berpadu bising mesin permainan yang lapar koin logam. Minyak goreng naik sudara-sudara! Harga bawang tidak wajar. Antrean minyak tanah tak bosan disiarkan. Toko sepi, banyak yang tutup. Bahkan elevator enggan melaju. Under-consumsption, over-production, kapitalisme lagi jenuh!
Pukul dua saya beringsut keluar dengan sebuah buku dalam genggaman, Metodologi Sejarah. Saya buka-buka. Baca selintas sambil pesan kopi di sebuah warung pinggir jalan bilangan Plaza Pangrango, Bogor. Gerimis turun, sementara matahari masih nanar. Hujan poyan, kata orang Sunda. Hangat-hangat tahi ayam.
Langit sedang bimbang, menurut saya. Setengah jam. Buku mulai tak menarik. Warung kopi senyap ditinggal tiga pemuda langganan. Mereka sebut mami, ibu penjual kopi. Dia terima dengan syarat: maminya bukan mami nakal.
Merantau dari Aceh beliau. Paruh baya berkulit putih, berkacamata. Tiga anak satu suami. Jualan sampai pukul enam tiap hari. ”Takut jadi tempat macem-macem kalau buka sampe malem, dek” ujarnya sambil menyalakan sigaret yang bikin ingat ibu saya. Paras si penjual kopi mirip ibu kapitalis penjual makanan di kantin FIKOM.
”Wah, CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) atuh,” selorohnya waktu tahu saya menunggu seorang teman lama berjenis kelamin perempuan.
Mami yang menyenangkan. Dia temani saya ngobrol. Dari harga minyak sampai susahnya cari kerjaan. Tak ketingalan, cinta-menyinta.
”Ah, ayeuna mah tampang lain jaminan. Tah, tadi si Anto (salah seorang pemuda yang sebut si ibu mami). Kurang kasep naon? Eh ditinggal kawin ku kabogohna, (ah, sekarang mah muka bukan jaminan. Tuh, si Anto kurang ganteng apa? Eh, ditinggal kawin pacarnya),” yakin betul dia dengan argumennya.
”Beunghar oge. Tos dibeulikeun imah ku indungna. 170 juta. Dibere sepre sagala, kabogohna (kaya juga. Sudah dibelikan rumah sama ibunya. 170 juta. Pacarnya, dikasih seprai segala),” tanpa ragu dia bantah pendapat saya.
Anto bukan pemuda miskin yang layak ditinggalkan. Andai mami masih gadis belasan tahun, tanpa ragu dia dekati Anto. Sayang pula anak perempuannya sudah punya jodoh. “Kerja di Bali, manajer. Kemarin anak mami baru dari sana,” semangat betul dia cerita.
Hujan menyisakan aspal basah. Suzuki Swift hitam melenggang mulus.
“Keterusan. Lu balik arah aja. Gw di samping optik seis,” negosiasi usai dan telepon ditutup. Saya kalah. Mengalah. Jalan memutar pertokoan. Menuju mobil teman saya.
“Jangan sekarang ya. Gw mesti jemput adik gw jam setengah lima, les vokal di Purwacaraka. Lagi jerawatan juga, nggak bagus kalau difoto. Makan aja yuk, laper nih,” dia melajukan mobil ke sebuah tempat makan daerah Palayu, Bogor.
“Lu ngerokok berapa banyak sih?” parfum mobil kalah dashyat dengan aroma asap yang melekati tubuh saya. Saya salahkan dia. Menunggu bikin mulut saya tak lelah beradu dengan tembakau.
Mobil baru. Terakhir dia antar saya ke terminal dengan Ford Escape warna coklat muda. Ada LCD TV 15 inch lengkap dengan pemutar keping DVD di dalamnya. Rikuh, belum pernah naik mobil semewah itu. Habis kata-kata dilumat rasa minder.
Sekarang tidak. Masih sanggup lidah saya melawan kelu. Al-Quran kecil dengan sampul keemasan, satu-satunya barang yang menarik perhatian saya. Diletakkan di rak paling bawah, depan tuas gigi otomatis.
“Kayaknya gw pernah kenalan deh, al. Temennya Bolo,” setengah berbisik dia mengomentari teman SMA saya yang berada di seberang meja makan kami. ”Itu pacarnya, ya?”
Saya ambil inisiatif, agak berteriak ”wit (Wita, Meiswita, nama teman SMA saya), temen gw nanya itu cowok lu, bukan?” teman perempuan saya protes, merasa dipermalukan. ”Ah, rese lu, nggak mau jalan sama lu lagi, gw”.
”Gabung yuk,” pria berbadan besar di samping Wita mengajukan tawaran. Saya menoleh. Tak bicara apa-apa, tapi coba cari jawaban. Yang dilirik mengeleng keras, sambil tunduk tersipu.
Ganti saya tersudut, kami tersudut. Diam, tak mau saling melihat waktu Wita bertanya sambil tersenyum pada kami, ”cewek lu, al?”.
Saya jawab, dia menyahut, kami berdebat. ”Bukan”, saya mencoba meluruskan. ”Pembantu gw”, dia tak mau kalah. ”Lu, sopir gw. Kan lu yang dari tadi nyetir..hehe,” dia diam. Bingung cari jawaban.
Sejujurnya. Saya lebih bingung daripada kamu, nona..
Jogja, 28 Januari 2008