Jumat, 21 Desember 2007

Dari Ladang Derita, Dia Petik Buah Manis Kebahagiaan

Sendal pijat dari kayu dengan tonjolan-tonjolan seperti barisan kapsul sebesar ibu jari, melayang. Berhenti dan jatuh di lantai setelah beradu dengan tembok kamar. Sedetik lalu melayang persis di samping kaki saya yang reflek melompat. Putaran tangannya, tangan ibu saya, masih hebat seperti ketika menyabet berbagai piala kejuaraan badminton, tenis meja, dan voli saat perayaan HUT RI beberapa tahun lalu. Ketepatannya belum berkurang, karena dia masih senang berlatih. Hanya saja, siang itu, saya bukan lawan yang ingin dikalahkannya dengan smash-smash tajam. Saya hanya anak nakal yang membuat kesal hati ibunya. Tubuh kecil saya bergetar setelah bunyi dakk akibat benturan sendal dengan tembok, ibu melengang pergi ke luar kamar. Meninggalkan sendal yang luput.

Lemparan itu menghilang ketika saya beranjak besar. Mengakrabi dunia coba-coba anak SMP. Bolos, merokok, alkohol Ibu tak pernah tahu kecuali hal yang pertama. “Aal, biar papa yang ngurus, mama udah nggak sanggup lagi,” intonasinya sama seperti tahun-tahun yang lalu. Kelopak mata saya basah, sesal tertunda menitik, air mata yang tak pernah ke luar saat lemparan barang luput atau tamparan keras memerahkan pipi saya. Malam itu saya memilih dilempar atau ditampar saja, jangan keluar kalimat itu dari mulutmu, ibu.

Dua puluh satu tahun lalu. Seorang perempuan dengan janin berusia sembilan bulan, jatuh dari becak. Kepalanya membentur bemper belakang truk. Beberapa jam kemudian sejarah tercatat: dari empat kali kelahiran, kali ini yang paling lama dan menyulitkan.

Tak pernah terpikir di otaknya, betapa sulit melahirakan dan membesarkan anak. Sepertinya lebih sulit dari tahun-tahun perjuangan beliau saat ditinggal ibu yang meninggal dan bapak yang dibui akibat tragedi politik paling kejam di Indonesia. Dia hidup bersama ibu tiri. Sampai dua puluh tahun kemudian bapaknya dibebaskan dengan tanda ET di Kartu Tanda Penduduk.

Pagi sebelum berangkat sekolah, nasi harus sudah masak. Sebuah sepeda tua dikayuh, menyusuri jalanan Jogja menuju sekolah tanpa sepeserpun uang saku. Kadang roda berhenti di sebuah kuburan Cina. Perempuan itu tertidur setelah sehari kemarin pekerjaan begitu berat. Mengaduk puluhan loyang kue, mencuci baju sendiri, membeli baju lalu menjualnya lagi.

Ya, sejak lama ibu berjualan pakaian. Karir yang sudah dirintisnya sejak masih duduk di Sekolah Dasar. Umur dua belas, Surabaya dia datangi bersama adik lelaki yang umurnya masih enam tahun dan sekarung pakaian dari Ps. Beringharjo. Tak ada alamat lengkap, hanya petunjuk lisan menempel di ingatan. Modal yang kemudian digunakannya saat jadi kurir ke Jakarta.

Orang-orang Ps. Beringharjo, seperti juga pedagang Mester dan Tanah Abang, sudah pada tahu. Perempuan itu masih jualan baju sampai sekarang, untuk biaya sekolah empat anaknya.

Jadi penjaga karcis PJKA pernah juga dia jalani. Tak bisa dia jadi pegawai kantoran, cuma tamat SMA dengan angka merah berjejer di ijazah dan rapor. Ya, dia senang tidur di kuburan cina saat jam pelajaran.

Kesehatannya jauh menurun, dibandingkan ketika muda dulu. Ibu masih keras kepala jika diminta jangan bekerja terlalu berat. Semangatnya tak pernah mengkerut meski uban satu-satu memenuhi rambut. Dan kerut di wajahnya semakin nampak, aah saya ingat janji membelikannya Oil of Ulan jika dapat gaji pertama. Kerut-kerut yang nampak indah jika semua anaknya berkumpul saat liburan.

Dia tak pernah melempar sendal pada adik saya. Sesekali saja saya lihat air mata menitik membasahi pipi dan mukenanya di dua pertiga malam. Kepalanya menyandar di tembok, suara lirih, dan terbata. Di doa ibu kudengar ada namaku disebut.

Bogor, 21 Desember 2007

Senin, 17 Desember 2007

Cintaku, Cinta KOnser

Jakarta memang neraka, saya benar-benar merasakannya kali ini. Hari itu, minggu, lazimnya orang-orang ibukota pelesir ke Puncak Bogor atau Bandung sana, dan saya yang besar di Bogor lalu kuliah di Bandung bisa melengang mulus di jalanan Jakarta tanpa terganggu oleh kemacetan yang sudah rutin disini ketika hari kerja. Kenyataannya tidak begitu.


Mobil meninggalkan daerah Pancoran menyusuri jalan tidak seberapa lebar, menuju ke daerah mana saya lupa. Jam sudah menunjukkan sekitar pukul tiga dan matahari masih galak seperti jam 12 tidak pernah beranjak sedetikpun. Saya membuka kaus tipis yang apek karena dicumbui keringat.


Bertelanjang dada saya mengiringi Candil bersenandung, “kapan ku punya pacar, kapan ku punya pacar,” dan drakk. Benjolan aspal membuat bergetar pemutar compact disc Pioneer abu-abu 12 cd yang dipasang di bawah laci mobil sebelah kiri. Lagu berhenti diganti nada timur tengah mengalun tanda pesan singkat masuk ke Siemens saya.


Haduh knp dbliiin?yawda nanti gw gantiin ya say..jgn marah ya say.”


gw g btuh uang lu. Jrang2 gw maen k Jkt,qta kan udh lma g ktemu.Tpi,klw mang g bsa g ush gnti duitny,gw g smiskin itu,non..hehe” tombol send ditekan.


Faktanya, saya belum punya tiket. Taktik saja, supaya teman saya itu mau menemani saya nonton acara musik Jazz yang rutin diselenggarakan setahun sekali oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Saya penggila reggae dan tak begitu menikmati Jazz. Tapi, saya penikmat musik, apapun genrenya. Di Indonesia pagelaran Jazz yang tiketnya dihargai puluhan ribu cuma ada sekali setahun, Jazz Goes to Campus. Itu yang membuat saya mau jauh-jauh ke Jakarta cuma untuk nonton sebuah konser musik.


Langit sudah ramah. Tidak panas tidak pula hujan. Mobil bergerak lagi, tanpa nyala air conditioner kali ini, karena jarum penanda bensin sudah sampai di titik E. Empty.


Pokoknya ente harus lakuin itu. Ini kesempatan jarang. Ke Bogor pun ane anter. Kalau ente sampai ga lakuin, ganti nih duit bensin,” gurau teman saya mengancam sehabis mengeluarkan dua lembar ratus ribuan di sebuah pom bensin yang letaknya dekat dengan bilangan Ps. Minggu. Ya, saya ke Jakarta menumpang. Betul-betul baik kawan saya itu. Sudah ditumpangi, mau mengantar ke Bogor pula.


Al, gw udh di jln nech. Janji yah gw plgin jgn mlm2.awas loh..


nyawa gw taruhannya,” balas saya


Ba’da Maghrib. Untuk menemukan tempat parkir teman teman saya sampai harus memutar mobil tiga kali, sekali keluar UI lalu masuk lagi. Bahu jalan sudah penuh dan kami menemukan sebuah tempat lowong di boulevard, empat ratus meter dari gerbang, sekitar satu kilometer dari Fakultas Ekonomi.


Al beli ponstan”, “Al beli aqua jg.cptn udah skt gi9i bech...oia permen jg soalnya gw takut minum obat sndrian.he2 maap ia kebnykn ia he2


Saya masuk ke alfamart, beli sebungkus Djarum Super, sebotol aqua, dan sebotol nuGrentea. “Ada ponstan, mbak?” saya harap-harap cemas. Nihil. Lucu juga ada alfamart di dalam kampus, di Unpad ini tidak (mungkin juga belum) terjadi. Komersialisasi Kampus belum separah Jakarta dimana setiap hal diukur dengan lembar-lembar uang. Bagus, berarti pedagang-pedagang kecil itu masih bisa tetap hidup.


Seorang wanita dengan kaus oblong dan celana jeans berdiri di atas meja yang terletak di tengah-tengah area ticket box. “Tiket sold out,” ulangnya beberapa kali. Gimana ya, kacau ini, ketahuan sudah bohong saya. Tidak ada tiket dan ponstan, saya harus ngomong apa nanti.


Sekitar sejam menunggu sambil duduk-duduk dan foto-foto, akhirnya kesepakatan dicapai. Tiket Cuma ada satu. Teman lelaki saya menggunakan tiket bekas, saya pakai tiket asli, dan teman saya yang perempuan sudah punya cap di lengannya hasil dari menempelkan cap yang masih basah dari adik kelasnya. Strategi berhasil.


Kami bertiga berpisah di dalam. Teman lelaki saya langsung menuju main stage bersama dua orang lainnya, sementara saya dan teman perempuan saya berdua saja. Jitu.


JGTC dua tahun lalu tidak seramai kali ini. Sebuah neon box besar bertuliskan Three Decades of Jazz Goes to Campus; Celebration of Inspiration terpampang di dekat bunderan FE yang ramai oleh pengunjung yang duduk-duduk sambil mengobrol. Di tengah bunderan, lampu kelap-kelip diuntai seperti membuat rangka payung, mengelilingi sebuah tiang tempat lampu warna-warni berbentuk huruf J-G-T-C dipasang vertikal. Pawang hujan tampaknya sukses karena hujan tak menambah semarak acara hingga penampil terakhir menyelesaikan lagunya di pangung.


Laper ni, cari makan dulu ya,” perut teman saya merajuk rupanya. Sepuluh meter dari bunderan, stand makanan berjejer. “Jangan pancake, nggak kenyang. Gw laper banget nih,” silahkan saja nona, malam ini semua mau Anda saya turuti.


Gw gak makan, kopi aja,” ujar saya sambil memesan segelas nesface panas yang dijual di sebelah stand tempat teman saya memesan. “Gua mau milo kaleng,” pinta teman saya sambil memesan makanan di stand samping. Saya keluarkan selembar dua puluh ribuan dari saku kanan dan membayarnya. Lima puluh ribuan terakhir saya ditepisnya, dia yang membayar untuk dua porsi makanan yang terlalu mahal dihargai Rp.26 ribu.


Umur berapa lu mau nikah?” teman saya membuka pembicaraan sambil menyuap sendok kesekian melewati bibir merah jambunya. Saya keget namun mencoba tersenyum. Seperti berkah yang datangnya terlalu cepat, berkah yang jadi bencana.


Hmmm, nggak tau. Gw gak suka menargetkan hidup. Selama gw senang hari ini, hari besok gak dipikirin. Cukup. Gw lebih senang begini, hidup bebas dari target,” sebisa mungkin saya cari kalimat yang pas sambil pikiran saya menerka apa yang ada di balik pertanyaan tersebut. Suara penampil dari main stage terdengar, “lagu berikutnya tentang seorang pria yang setia dengan janjinya”.


Aduh, dia tanya soal hubungan. Tanya saya sejarah pers Indonesia, kita bisa semalaman membicarakannya, tapi jangan soal hubungan karena saya belum punya jawabannya. Saya tak berminat membahasnya denganmu, nona. Dan kamu, pasti tak berminat membahas beberapa kesalahan Pramoedya mengurai sejarah Tirto Adhisoerjo dalam tetraloginya. Yah, kita memang berbeda. Kupikir, aku yang selalu mencoba menyesuaikan diri denganmu meski ketakutan itu terus menetak. Kenapa kau gerus keindahan malam ini dengan pertanyaan macam itu.


Sudahlah, bung, jangan dibiarkan terus gelisah itu berkecamuk, nikmati saja malam ini. Huff, untungnya dia tak tahu probbing dan tak memberondong saya dengan dengan pertanyaan lanjutan.


Setengah sebelas malam, mobil menyusuri aspal basah tol Jagorawi yang terus didera hujan. Setengah jam berikutnya mobil menyusuri jalan-jalan kecil di sebuah kompleks perumahan elite Bogor. Saya masih hapal jalan tikus disini meski sudah setahun lebih tak melewatinya.


Kompleks elite nih. Orang-orang kaya Bogor tinggal disini. Cuma ada tiga kompleks perumahan elit di tengah kota Bogor: ini, daerah Dadali, sama Taman Kencana. Ki Gendeng Pamungkas tinggal di daerah sini,” tukas saya pada teman lelaki yang sedang memegang kemudi.


Apaan sih lu. Biasa aja kali, lu selalu gitu,al. Pehitungan sama gw,” teman perempuan saya yang duduk di jok belakang langsung emosi dibilang tinggal di kompleks perumahan elite. Dia memukul-mukul tubuh dan kepala saya yang duduk persis di depannya.


Buat nelpon Dewi bisa, ko gw nggak? Sakit hati gw,” saya tak bisa melihat ekspresinya ketika bicara seperti itu. Saya tak tahu teman perempuan saya itu serius atau tidak.


Saya ingin mejawabnya ketika kita berpisah di pagar rumahmu, tapi tak tahu harus dengan kalimat seperti apa. Pun bapak-bapak itu, yang nongkrong-nongkrong di depan pagar rumahmu, kehadirannya betul-betul menganggu saya.


“Gimana nyong?” teman lelaki saya rupanya sudah tak sabar mendengar kalimat yang saya katakan waktu mengantar teman perempuan saya masuk ke rumah.


“Dia nanya gw balik ke Bogor ngak Minggu depan, pengen ngajak jalan lagi. Gw bilang ‘iya’. Ketemu lagi minggu depan. Masih memesona dia,” jawab saya seadanya.


U make a dark nite so wonderful, thx..hehe. Jgn mrah yak, tdi gw boong udh pnya tiket spaya lu mw dtg,” saya kirim pesan singkat sebagai tanda terima kasih kepada perempuan itu.


Saya khusyuk di depan komputer. Main Football Manager 2008 sambil mendengarkan mp3 dari Winamp. Cinta Sudah Lewat-nya Kahitna dapat bagian bersenandung beberapa saat setelah Kencan Pertama dan Jikalau-nya Naif. Dia dan janji itu masih membayang meski pertemuan itu sudah lewat seminggu. Saya tak menepati janji yang diucap seminggu lalu.


Berikan aku senyuman satu malam saja, jangan kau tawarkan sebuah hubungan, nona,” saya ingin jujur padanya. Kalimat itu ingin saya bisikkan ke telinganya yang berpahat giwang bundar biru muda malam itu. Andai, andai saja malam itu kau mencecar terus, kukeluarkan kalimat pamungkas itu.


Jatinangor, 4 Desember 2007

Sabtu, 27 Oktober 2007

Dua Pagi dalam Satu Musim

Pagi Musim Hujan

Sebab Matahari lebih mudah disalahpahami
Dan awan pekat berbaris, lagi
Pagi, aku suka terlelap saja

Cikeruh, 18 Okt 2007

Pagi (Kedua) Musim Hujan

Sebab hujan tak menyisakan embun
Jemari kutunda sampai kemarau, waktu hangat sepagi
Waktu dingin menyisakan bulir kecil di sekitaran,
dan di daun pipimu
Cerah langit menguning
Kuseka wajahmu, merah jambu tersipu

19-20 Oktober 2007

Sabtu, 13 Oktober 2007

Lebaran dan Takbiran, Pepesan Kosong

Terang matari di langit berganti gemerlap kembang api. Awalnya mirip suara sirene, disusul bunyi serupa daun kering terbakar ketika garis api berhambur jadi gurat warna merah, emas, dan biru membentuk lingkaran indah. Di bawah, Kraton Yogya menua termanggu. Alun-alun bingar melebihi siang hari.

Jalan raya yang mengelilingi alun-alun sesak kendaraan dan parade. Berjejer para penampil bergantian menghibur. Barisan depan selalu membawa spanduk panjang bertuliskan daerah asal. Kauman, Sayidan, dan banyak sesudahnya. Penggebuk drum dan paduan suara dengan bendera warna-warni di barisan kedua, kompak bershalawat keras. "Lebih sepi dari tahu kemaren," pak Polisi menimpali pertanyaan saya. Sebagai penutup pemuda membawa rangka masjid atau Al-Quran sebesar badan manusia. Tak kurang meriah ornamen itu dilengkapi dengan cahaya lampu. Generator dibawa serta untuk sumber tenaga. Jangan luput keramaian dari rekaman lensa kamera, cuma setahun sekali.

Handphone dibanjiri pesan singkat. Ah, semuanya serupa walau tak sama. Seperti ini setiap tahun, maaf, maaf, dan maaf. Pun begitu harus dibalas, tak enak rasanya kalau tidak. Tetap saja pertanyaan timbul, apakah harus meminta maaf kalau bertahun sudah tak bertemu?? Wajahmu saja saya sudah lupa.

Beringsut pulang setelah kamera mati dengan hati menggerundel karena kelupaan membawa baterai cadangan. Besok Lebaran, harus tidur segera, supaya esok ibu tak marah-marah membangunkan saya.
Dari kejauhan takbir sudah mulai terdengar lamat. Baru pukul setengah enam. Pesan singkat terus-terusan masuk. Kesal hati mendapati sms aneh. Masak dikirimi pesan dalam bahasa Prancis, satu kalimatpun saya tak bisa mengartikan. Apa-apaan ini manusia, dua orang pula, dengan pesan yang sama persis. Dipikirnya keren pake bahasa asing, mana sampai apa yang kau maksud?? Sakit jiwa, mereka! Tapi tetap saya balas, tak enak. Kacau begitupun tetap kolega.

Selanjutnya seperti biasa. Beli kembang untuk makam kakek, sholat Ied, ziarah, dan acara sungkeman. Ditutup dengan bagi-bagi THR. Setelah rangkaian acara selesai, saya tinggal tidur keramaian tamu yang datang berkunjung.

Pesan-pesan singkat yang baru didapati ketika bangun tidur. Bahasa Inggris masih saya maklumi, begitupun yang sok berpantun. Pusing benar mereka merangkai kalimat agar indah dibaca. Sekali setahun ini, lebaran saja.

Malam mulai lagi. Tertatih-tatih saya mendaras Jejak Langkah Pram. Bising kembang api dan parade terdengar dari kejauhan, sungguh menganggu konsentrasi. Pesan masuk lagi, senang hati kali ini. Ada juga yang mulai merasakan keanehan rituak menahun Takbiran dan Lebaran. Berbalas terus pembicaraan mengenai kenaehan di sekitar Idul Fitri. Saya akhiri karena teman tersebut mau lebaran nanti pagi, dan dia harus tidur karena sudah hampir jam tiga. "Tidurlah, Jangan lupa berdoa lebaran tahun ini dapat makna baru. Bukan sekedar pepesan kosong ritual tahunan," tombol send langsung dipencet.
"Setelah qt puas makan, apa kabar ya jutaan manusia yg mungkin hingga saat ini ksulitan makan?Dr td sy mnrima banyak sms minta maaf, tp knp qt msh bs mkn tnp mrasa bersalah?" Hufff, satu lagi pesan singkat menggugat, dari perempuan berjilbab pula.
Yogya, lebaran ke-2

Senin, 08 Oktober 2007

A***ng

Absurditas. Tak disisakannya lagi sejengkal saja lahan, pun untuk bertanya SIAPA DIRIMU WAHAI ABSURDITAS. LAJUR HIDUP SUDAH TERLALU SEMPIT, TERLALU MISKIN KEINDAHAN, TERLALU TERGESA UNTUK SEBUAH PEMBUKTIAN. AKU, TERTINGGAL DI BELAKANG

PS: A***ng, gw juga ge ngerti kenapa kalimat-kalimat itu yang meluncur. Gara2 sunny yang lagi mengalun, mungkin..hehe

Yogyakarta 08 Okt 07

Selasa, 02 Oktober 2007

Berapa Duit Saya Bisa Beli Kecantikan Nona??

Filosofi New Age, yang bentuknya bisa kita lihat sekarang melalui praktek ESQ, percaya bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Saya menganggap hal itu ada benarnya, tapi tidak banyak. Sejauh ini pengetahuan dan pengalaman yang membuat saya beranggapan: manusia dibentuk oleh kondisi sosial tempat dia hidup. Penjelasannya, meskipun tak terlalu jelas, sudah ditulis kemarin-kemarin dalam Hanya Orang Gila Tak Ingin Kaya.

Orang miskin mencuri karena tak ada secuil nasipun yang bisa dia makan hari ini; Mahasiswa mencontek saat ujian karena sistem perkuliahan membuatnya membuang jauh-jauh arti penting proses, tujuannya semata-mata hasil akhir. Sekarang, mari bicara masalah wanita.

Wanita adalah komoditi, barang dagangan. Maaf sekali jika kaum feminis terganggu dengan ini. Sebenarnya ini masih bisa digugat karena berupa asumsi saja. Tapi, setidaknya asumsi ini ada landasannya.

Mari kita buka lembar-lembar majalah remaja wanita. Dengan mudah bisa ditemukan cara tampil cantik dan menawan. Semuanya pake duit, sekali lagi duit. Pemutih kulit, pemulas bibir, pewangi badan, penghitam rambut, dan pakaian yang manis untuk membungkus tubuh aduhai. Semuanya dibeli satu saja tujuannya: menaikkan harga di pasaran.

Semakin banyak uang dikonsumsi untuk menghasilkan suatu barang, semakin tinggi harga. Itu logika ekonomi. Logika ekonomi juga menjelaskan semakin banyak penawaran semakin tinggi harga. Satu hal lagi yang memengaruhi harga adalah hubungannya dengan barang dagangan lain yang serupa. Berarti, dalam kasus ini wanita satu dengan wanita lainnya.

Bagaimana ‘menilai’ harga seorang wanita? Di majalah gaul kampus FIKOM ada rubrik profil. Di box kecilnya Anda bisa lihat track record pacaran. Semakin sering gonta-ganti pacar berarti semakin tinggi harganya. Wanita yang sudah dua belas kali pacaran, harganya lebih tinggi dibandingkan yang baru dua kali pacaran.

Itu satu sisi saja. Kenyataan lain mengatakan, ada juga wanita mahal yang track recordnya tak semanis parasnya. Bukan para lelaki yang buta mata, namun belum ada tawaran yang sesuai. Harga yang diajukan terlalu rendah, bisa rugi kalau begitu. Jenis ini cenderung menunggu tawaran dengan harga yang sesuai.

Menunggu bukannya diam. Sambil terus tebar pesona pada para ‘penawar’ yang belum berani mengajukan harga, mereka berusaha memertahankan penawar-penawar sebelumnya. Bahasa anak gaul menyebut sikap itu ‘tak mau kehilangan fans’.

Dari tadi saya mencoba menyamakan wanita dengan barang dagangan. Sebenarnya, dua hal itu berbeda. Kesadaran membuatnya tak sama. Wanita punya kesadaran yang punya dua wajah berbeda: ingin tampil seperti Laudya Chintya Bela yang rajin ke salon dan beli baju di butik sehingga bisa diperdagangkan di Sinetron atau gadis biasa yang eksotis dan tak mau disamakan dengan barang dagangan. Beberapa sadar dan tahu betapa hinanya berakhir seperti beras yang tak laku dan dibuang ke Samudra luas. Mereka ‘tak mau kehilangan fans’ seperti Eva Arnas yang lapuk dimakan ketuaan.

Inilah perdagangan semu yang tidak kita sadari. Penampakannya halus, tak seperti perdagangan wanita untuk dijadikan pelacur. Dalam kasus ini bukan germo yang bersalah, tapi mereka sendiri. Merekalah yang menjadikannya tak lebih seperti beras tak laku yang layak dibuang ke Samudra luas.

Hehehe, maaf ya mba, mpok, neng, non khususnya para pembela harkat dan martabat wanita (maksud saya perempuan, karena banyak yang tak suka disebut wanita)...sekedar urun-rembug saja. Jangan gusar, pria pun banyak yang menjadikan dirinya barang dagangan.

PS: sebenarnya keinginan menulis komodifikasi wanita sudah ada sejak lama. Tapi, keran pemahaman belum juga terbuka. Sore ini, dalam himpitan kekecewaan saya mendengar rekaman diskusi Herry Priyono, aliran amarah mampu juga menjebol keran itu...hahaha

Cikeruh, 2 Oktober 2007

(Banyak) Serapah dan (Sedikit) Doa Buat Pembual

Kemarin dulu sudah ditulis bagaimana semangat zaman merasuki saya dalam tulisan Hanya Orang Gila Tak Ingin Kaya. Kalau begini terus keadaanya, mengutip tulisan tersebut “dua puluh tahun lagi kata ‘tulus’ pasti terhapus dari kamus bahasa”. Sekarang ditemukan lagi sebuah kata yang dirasa akan hilang juga, yakni kejujuran.

Ini juga sudah merasuki kita semua, tak terkecuali saya. Kejujuran semakin surut saja. Semester tiga saya “menulis ada hal yang kadangkala perlu kita lebihkan, kurangkan, manipulasi, semuanya demi kenyamanan, kelangsungan hidup kita”. Sekarang ini orang berbohong untuk bertahan hidup. Kepalsuan sudah merasuk sampai tulang sumsum! Sialan!

Yang terberat tentunya jujur pada diri sendiri. Kalau ini saja tak bisa dilakukan, maka rasa bersalah dan kegalauan tak mau lepas menyelimuti sudut-sudut hidup kita. Pertama sekali dia bersalah pada dirinya, dan lalu pada orang lain.

Mereka yang berbohong memertahankan tetek-bengek remeh akan digilas roda sejarah. Akan membusuk dan menimbulkan bau tak sedap buat hidung orang-orang di sekitarnya. Runtuh sudah harga dirinya tak bersisa.

Mata saya tak bisa lagi mencerap keindahannya; hidung saya tak mendengus lagi harum namanya. Tak sanggup, kebusukan tak sanggup lagi ditutupi. Selesai sudah, stop sampai disini saja! Kau telan bulat-bulat buah yang kau tanam dari ladang kebohongan!!!

Tapi, jujur saja saya tak sepenuhnya kecewa dibohongi. Enam puluh persen saya terpukul jika. Sisa empat puluh persennya harapan agar kau tidak berbohong untuk memertahankan hal-hal yang sekedar recehan saja dalam hidup. Mudah-mudahan...

PS: Nona Feurbach rela menelan bulat-bulat sepahit apapun kebohongan daripada dibohongi, sungguh luar biasa. Perbincangan kita malam itu bukan karena saya takut menatap wajah kebenaran, sebab Rasullullah pun mewajibkan umatnya bicara benar, sepahit apapun itu! Cuma mencoba melihat saja sejauh apa berbohong dibenarkan...hehe.

Cikeruh, 1 Oktober 2007
Amarah Mendera

Sabtu, 29 September 2007

Pasi

Kalau sudah bertegur sapa, keganjilan yang coba disembunyikan toh keluar juga. Kata-kata masih tercekat di kerongkongan.. Tertahan dan lalu lebur saja bersama tatapanku yang entah mewartakan kekalahan, kesumat, atau kagum yang belum bisa hilang. Aku masih pasi di hadapanmu. Betul-betul tak sedap bunga merekah yang dipandang dengan mata yang kelelahan.

Ini adalah perihal kekalahan. Tak ingin mengingatnya, sebetulnya begitu. Hanya ingin menertawakan kebodohanku yang menggangap ini sebuah pertarungan. Betapa picik cinta yang dimenangkan lewat perang; betapa rendah sukacita yang yang harus ditukar dengan lara; betapa angkuh hubungan yang dinilai dengan banyaknya pengorbanan. Kau membuatku berpikir seperti itu, terima kasih…

Cikeruh, 26 Sept 07
Pening yang entah datang darimana

Perjalanan, Sebuah Pengakuan

Zaman bertukar musim berganti, manusia pun berubah. Betul memang, taka ada yang hadir tanpa penyebab. “Ting” seperti sulap itu omong kosong saja.
Masa lalu saya terselip dalam lembaran-lembaran binder tua. Catatan ini, secara lengkap ataupun secuil saja, baru dua orang yang dipersilahkan membacanya, Nona Feurbach dan si Pengeluh. Nona Feurbach mendorong saya untuk mempublikasikannya. “Usaha untuk menghargai proses dan dialektika,” begitu ujarnya. Tapi tetap saja tak ditulis ulang semuanya. Alasannya, antara malas dan malu.

Sedikit catatan dari masa lalu. Pengharapan dan pertanyaan tentang masa depan.

?????

I. Masa SMA

Hidup saat ini menjadi hanya seperti sampah. Terlalu banyak kesenjangan, diskriminasi, penindasan, dan kecurangan berkedok malaikat. Dunia menjadi terlalu sempit untuk perubahan. Tak ada kesempatan, yang ada cuma uang dan kekuasaan. Orang-orang kaya terlalu sombong untuk mau berbagi.
Terlalu lama dan mustahil untuk kaum tertindas menunggu campur tangan negara. Politik hanyalah politik. Hanya politik dengan omong kosong di dalamnya yang benar-benar menjadi sebuah politik. Dalam siding-sidang negara hanya ada BULLSHIT!!!! Taka ada jalan untuk rakyat kecil selain bergerak sendiri, do it yourself. Bangkit dan bersatu demi masa depan yang lebih baik

Bogor, 9 Desember 2003
22.03

sedih juga lihat berita Alm. Ersa Siregar. Orang yang punya idealisme dan dedikasi tinggi buat pekerjaannya. Salut buat beliau. Dia bekerja tak hanya dalam lingkup Jurnalistik, tapi juga respek sama penderitaan di daerah konflik. Bisa ngak gw kaya beliau? Gw rasa anak-anaknya bakalan bangga punya ayah sehebat dia yang peduli banget sama anak-anaknya, sampai sampai nyempetin diri nelpon buat nanya SPMB (walau dari daerah konflik, lagi ditahan GAM). Buat gw hal-hal seperti itu punya influence besar, karena gw juga pengen jadi wartawan.
Yang jelas, gak peduli nanti jadi apa, yang gw harus ambil sisi positif beliau: dedikasi tanpa kenal rasa takut. Terakhir gw Cuma bisa berdoa mudah-mudahan Allah menempatkan Alm Ersa Siregar dalam golongan orang-orang yang Ia cintai…amin

Malem Rebo, 30 Des 2003
9.24 Waktu kamar

Hari dengan kemunduran semangat! Hidup semakin berat dan mulai tumbuh rasa frustasi. Banyak perjuangan yang berakhir sia-sia. Hasil yang gw terima sering jauh dari harapan. Mimpi terbentur kenyataan. Buat bangkit boleh dibilang susah karena cuma secuil semangat yang tersisa dalam dada!!
Lelah rasanya ngejalanin hidup yag monoton. Gw butuh perubahan; gw butuh menikmati hidup gw sendiri; gw bosen jadi beban orang lain. Tekanan-tekanan harus bisa gw jadiin semangat

GET UP STAND UP, STAND UP FOR YOUR LIFE

Senin,150304
20.10

Ga ada hal yang cukup penting dan ngeganggu, ordinary day. Hal-hal mulai bersahabat. Mungkin karena depresi mulai berkurang. Semangat baru tumbuh seiring usaha buat keluar dari keadaan yang ngak bersahabat.
Hari ini gw selesai baca buku Kromo Kiwo, Mereka yang Tak Pernah Menyerah, yang gw beli kemaren. Hal-hal yang bisa gw tangkep:
….
isinya keren karena ceritanya tentang eks-Tapol dan seputar basis PKI di Yogya.
pledoi orang-orang yang pernah jadi korban politik Orde Baru
… (bagian ini agak berbau SARA, jadi tidak dicantumkan…hehe)
ngajarin bahwa ada resiko yang harus kita tanggung terhadap jalan dan pilihan hidup yang kita ambil.
Tapi satu yang masih jadi pertanyaan mendasar, walau gw udah baca beberapa buku pro-kontra PKI: “sebenernya PKI itu bersalah atau tidak (mungkin yang saya maksud waktu itu dalam konteks G30S).

Bisingnya hidup coba kurenungi dalam hening. Menyedihkannya diriku coba kutulis dalam kata yang jauh dari dusta. Hanya lembaran-lembaran yang mungkin 10 tahun lagi aku lupakan yang tahu jelas diriku saat ini. Allah tahu aku coba berubah, Allah pun tahu diriku lebih dari diriku sendiri. Kuharap besok lembar-lembar ini masih bisa jadi koreksi bagi diriku; bercerita tentang sukses, bukan lagi kegalauan. Kuharap esok tangan ini bisa menghasilkan hal-hal yang berguna. Amin.

Rabu, 170304
21.26-21.59


II. Legegnya (Sombong) Mahasiswa Semester Awal

Aku temukan bahwa aku menunggu untuk disingkap. Untuk ditelanjangi oleh waktu segala kebohonganku. Untuk diotopsi kepalsuan yang merasuk sampai ke tulang-tulangku…

Aku temukan bahwa aku terasing. Keterasingan yang membuatku berdiri di atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensiku. Keterasingan yang menghadirkan pertanyaan akan masa datang di depan wajahku. Secuil pun aku belum bisa bayangkan seperti apa…

19 ke depan tentunya akan berbeda. Aku harap aku lebih siap ditelanjangi. Lebih bisa menghargai keterpisahan melalui sebuah penyatuan. Lebih mampu menjawab 19 lain yang berdiri di depan wajahku…

Aku kini 19 langkah mendekati penyatuan…mudah-mudahan.

Ps: semakin hari aku semakin tak menemukan makna esensial Hari Ulang Tahun. Buatku ini hanyalah satu keanehan masyarakat…

14 Juli 2005

perihal sesat atau bukan, menyesatkan atau tidak, saya artikan itu sebagai kuasa kita untuk menulis sejarah…ada hal yang kadangkala perlu kita lebihkan, kurangkan, manipulasi, semuanya demi kenyamanan, kelangsungan hidup kita. Walaupun Tuhan memanifestasikan dirinya dalam ruh, jiwa, atau lembaran-lembaran suci, selalu ada usaha untuk memertanyakannya. Tapi, apakah suatu sistem kepercayaan (Agama misalnya) begitu berpengaruh terhadap hubungan manusia dengan Tuhan? Apa jiwa, ruh, rasio begitu liar dan tak terarah dan membutuhkan suatu pagar agar ia tetap berada dalam tempat yang semestinya…

Bogor, 19 Juli 2005
Dinihari

Ada seorang kawan yang mengirim pesan singkat ke HP saya. Isinya secara garis besar adalah bahwa sosialisme bukan sebuah mimpi. Ia juga menulis bukan tak banyak orang miskin, dan sosialisme bukan tidak ada arti…
Saya kembali bertanya tentang sosialisme. Ketakpercayaan terhadap bentuk ideologi apapun saat ini, membuat saya ingin menyumpahi bentuk apapun ideologi. Bukankah ideologi hanyalah class-idea dari ruling class? Toh selalu muncul sempalan-sempalan yang mewarnai sejarah ideologi – bukti bahwa ideologi cuma berhala yang disembah dan bukan hal yang absolut. Bukankah kekuatan ideologi terletak pada struktur, bukan kemasukakalannya. Itu adalah bukti bahwa ideologi menyuntik kesadaran kita untuk ikut dalam struktur dan meminggirkan keunikan kita demi kepentingan ‘bersama’ atau kepentingan ruling-class yang termaktub dalam ideologi
Ya, mungkin ini karena kurang wawasanku dibanding temanku tadi…

010805, Bogor, 21:35

…Mungkin saja ketakutan, kecemasan, lahir dari ketidapasrahan saya pada tindakan. Belum sempurnya kesadaran pada tahap religius seperti yang dipahami Kierkegaard.
Atau mungkin saya terlalu egois. Mencampakkan pilihan-pilihan yang diberikan hidup. Dan karena saya tervonis bebas, saya lebih memilih untuk tenggelam dalam masalah ini. Saya tenggelam dan berlarut-larut…

25 Agustus 05
Waktu Zuhur Jatinangor

…benar bila kita berjalan dengan kaki, bukan otak. Tapi perasaan kadang membuat kita ingin meminggirkan logika sejenak. Mengikuti kemana kaki ingin melangkah, tanpa ingin tahu tujuannya.

Jatinangor, 9 September 2005
Menjelang Ashar

?????

Nah, saya temukan juga secarik kertas yang agak kusut, mungkin karena terlipat-lipat. Isinya puisi, sungguh surealis!

Sunset 25 Januari

Laut menunggu ombak bergulir
berderu gaungnya dalam hatiku
berseru, aku malu
hanya bisa diam, lagi
ombak kini tinggi menggapai menguasai diriku
habis aku lebur, hilang
kini kamu dan dirimu menutup dibalik awan
aku pergi dan kau disitu tersenyum, aku tahu
seperti senja, hanya menanti
dan diam, lagi

Yogyakarta, 25 Januari 2005
Halangi sunset yang kunanti
Pie to dab?! (bagaimana sih kamu?!—terj)

Ditulis ulang 27 September 2007

Bapak

Pembicaraan biasanya tak jauh-jauh soal keuangan. Uang bulanan habis sebelum waktunya, atau fotokopi dan tugas ini-itu butuh dana. Hubungan saya dan bapak memang tak terlalu baik. Setidaknya jika seringnya komunikasi dijadikan ukuran. Mungkin gengsi seorang lelaki yang membuat saya mencoba menghindari pembicaraan dengannya. Penyebab lainnya, bapak orang yang terlalu serius dan kaku menghadapi hidup. Begitupun kalau beliau bicara, penuh tetirah mengenai cara hidup sukses. Beda dengan saya yang lebih sering bermain-main dengan pilihan dan tak begitu suka dengan ukuran ‘sukses’ bapak.

Tapi, kemarin dulu tulisan untuk ibu sudah dibuat. Diposting di blog baru beberapa bulan kemudian karena isinya terlalu sentiimentil. Rasanya tak adil kalau bapak tak ditulis juga.

Banyak orang yang sudah kenal bapak sejak masa muda, bilang kami berdua punya muka serupa. Saya tak pernah percaya sampai suatu ketika membuktikannya sendiri. Sebuah ijazah SMA dengan pas foto hitam-putih di pojok kanan bawah, diperlihatkan pada saya. Ternyata betul yang dikata orang.

Wajah kami memang mirip, tidak begitu dengan sifat dan perilaku. Bapak anak baik yang jarang, atau bahkan tak pernah, berbuat onar. Tak pernah saya dengar cerita macam begitu, dari mulutnya atau dari mulut orang lain. Kalau orang cerita, bapak jadi sosok anak muda yang ideal di mata mereka. Dia anti kenakalan remaja.

Masa mudanya dihabiskan dengan belajar dan bekerja. Dua itu saja. Hidup tanpa ayah membuatnya jadi seorang remaja pekerja keras. Mulai bengkel motor sampai dagang asongan. Sampai sekarang berbagai keahlian masa muda itu, beliau belum lupa. Mengecat rumah, memerbaiki instalasi listrik, mengencangkan rantai motor yang kendur, dikerjakan sendiri kalau ada waktu luang. Kalau saya sedang di rumah, diajarkannya keahlian-keahlian itu supaya pekerjaan bisa dilimpahkan.

Bapak tak begitu pandai. Nilai ijazah SMA-nya tak menonjol. Isinya Cuma angka enam dan tujuh. Jurusan Kimia Universitas Gajah Mada dipilihnya untuk melanjutkan studi. Lulus delapan tahun!

Beliau lalu cari kerja. Impiannya: TELKOM. Teman seperjuangannya diterima, dia tidak. Melanglangbuana sampai terdampar di sebuah perusahaan Korea. Gajinya boleh dibilang tinggi untuk ukuran tahun 80-an. Dia memilih keluar kemudian. Bukan lantaran tak puas dengan gaji, tapi karena emoh jadi kacung orang asing. Sempat ditawar mengajar kimia di SMA Al-Azhar pusat. Dia tolak lagi. “Ngajar anak SMA ngak berkembang ilmunya,” begitu kilahnya.

Pemberhentian terakhir di sebuah akademi kimia yang berlindung di bawah Departemen Perdagangan dan Perindustrian. Letaknya di Bogor. Bapak jadi dosen, sampai sekarang dengan upah tak seberapa besar. Konon hanya berbeda beberapa ratus ribu saja dengan saudara-saudara saya yang jadi guru SD di Jakarta. Saya tak pernah mengeceknya meskipun memerlihatkan slip gaji itu kebiasaan di keluarga saya. Dulu, buat saya pilihan-pilihan yang bapak buat mengenai pekerjaan terdengar aneh. Sekarang saya maklum. Dalam kasus ini, Bapak termasuk orang yang mengajari saya bersikap.

Universitas Indonesia, almameter Bapak yang kedua. Mendalami Kimia Anorganik (sampai sekarang saya tak tahu betul apa yang dipelajarinya). Saya sudah lahir dan baru berumur beberapa tahun ketika itu. Walau sudah kerja, nampaknya keuangan keluarga banyak dibebani dengan studi Bapak. “Dosen pembimbing sampai kasih uang buat ongkos pulang sehabis sidang tesis di Salemba,” ratapnya.

Umur Bapak sekarang sudah kepala lima. Tiga anaknya masih kuliah dan satu masih SD, makanya beliau masih harus bekerja keras dari satu kampus ke kampus lain. Hari Minggu pun tak luput dari mengajar. Motor bebek tahun 96 jadi teman setianya.

Waktu luang dia pakai main Badminton. Seminggu bisa sampai tiga kali. Kalau sore hari ada di rumah, biasanya sibuk merawat tanaman. Dia suka bungga anggrek. Anggrek pertamanya mati di tangan saya—karena tak dirawat meskipun sudah dititipkan—ketika beliau pergi Haji.

Bapak punya harapan besar untuk anak lelaki pertamanya, saya. Dia tampak girang sore itu, saya bilang “mau jadi Dosen, seperti Bapak”.

Cikeruh, 26 September 2007

Sabtu, 01 September 2007

Kibur Kecil Kaum Kusam


Semakin sulit sekarang menemukan ruang publik untuk berlibur. Taman-taman indah dengan air mancur di tengahnya Cuma bisa dipandang dari balik pagar besi, tidak untuk dimasuki. Wisata mata.
Di Bandung masih ada beberapa taman rindang yang bebas akses. Taman Lansia atau taman dekat Jonas misalnya. Kita bisa menikmati tumpukan sampah sambil menggelar tikar dan membuka rantang makanan, lalu menikmatinya bersama kawan atau keluarga. Gratis tanpa tiket masuk.
Kalau berkunjung ke Yogya, sempatkan menikmati malam Anda di trotoar depan benteng Vrederburg atau Istana Presiden. Gratis juga. Keramahan akan menyapa. Ramai pengamen dan pedagang sore mengaso sehabis kerja. Ngobrol dengan mereka, saya pastikan Anda akan tahu bagaimana cara hidup di jalanan. Ini kegiatan favorit saya.

Kalau lapar dan ingin merokok ada angkringan dan pedagang asongan berjejer. Biarkan hidung Anda menghirup aroma alkohol yang keluar dari mulut jembel-jembel. Kalau beruntung kita bisa menikmati tontonan gratis. Para pemabuk sedang berkelahi dengan kayu atau sabuk pinggang. Sirene lalu berdengung, polisi menghentikan perkelahian.
Lampu taman padam pukul satu. Keramaian segera menyusut berganti manusia yang tidur di penjuru-penjuru taman, beralaskan kardus berselimut spanduk hasil maling. Habis waktu kita, mari langkahkan kaki pulang ke rumah.
Jangan takut liburan belum usai. Masih ada agenda terakhir. Menonton acara televisi akhir pekan. Ada liputan jalan-jalan dari Bali, Lombok, Sumatra, dan berbagai penjuru Indonesia. Kadang dari luar negeri pula. Lapar? Santai saja sebentar lagi acara kuliner. Menunya beragam dari makanan tradisional sampai a la bule. Tak perlu susah mulut anda mencicip asam-manis coto makasar atau spagheti. Tutup saja mata Anda lalu dengarkan pendapat pembawa acara. Mak nyusss….
Jatinangor, 25 Agustus 2007

Amor Fati, Malam Hamil Tua


Asbak sudah penuh terisi. Malam hamil tua. Nanti suara sang muadzin menyambut surya yang menggeliat keluar dari kegelapan rahim. Saya diam, lalu mengetik. Diam lagi. Membaca, mengetik, dan kembali diam. Selalu seperti itu, malam ke malam. Hanya malam yang sanggup.

Empat lebih lima belas. Persalinan segera dimulai. Malam kehabisan daya dan saya tak ingin melihat kelahiran hari dengan mata yang masih nyalang. Selimut ditarik. Selamat tinggal malam. Kutinggalkan kau dengan kepala tertunduk. Mata menutup.
Bukankah kelahiran itu menyakitkan? Butuh tenaga dan keberanian untuk menerima sesuatu yang baru, begitu?
Malam, jangan kau tebus pagi dengan nyawamu. Tak sanggup kau penuhi pintaku? Biarlah sekedar mata diselimuti gelapmu saja, dalam tidur pulas.

Dan matahari merangkak lamat. Mengambil nyawa embun tetes demi tetes. Pagi bersabda, “cintailah keutuhan, nasibmu. Jadilah penuh dengan berdamai dengan nasib. Lampaui siang-malam, gelap-terang, keruh-bening, sulit-senang, hitam-putih. Buka lebar-lebar tangamu menyambut pagi yang baru. Jangan kau larut dalam malam, usah pula tinggalkan dia”.
21 Agutus 2007

Minggu, 19 Agustus 2007

Hanya Orang Gila Tak Ingin Kaya

Kau tak ingin kaya? Darimana asal pikiran sinting macam itu. Baiklah, teman saya seorang psikiater handal, mungkin beliau bisa membantumu. Ahh, maaf kalau terlalu kasar. Tapi saya kira semacam gangguan jiwa sangat mungkin menimpamu. Psikiater itu pasti bisa menamai penyakit ini.

Ada baiknya buku-buku sejarah itu kausingkirkan. Mereka membawamu pada romantisme. Keindahan komunalisme cuma ada dalam temuan ilmu sosial. Individualisme itu tiang yang sekarang menancap kukuh ke jantung keseharian. Kau lihat cakrawala zaman kita dibentuk gurat-gurat persaingan. Oww, aku tahu pasti ini semacam kepengecutan. Kau takut kekalahanlah yang menutup lembar perjuanganmu, begitu bukan? Pasti, pasti itu!

Aduh, maaf sekali lagi. Kelabu gusar begitu ganas menyelubungi, makanya bicaraku jadi pekat begini. Aku tak bisa lagi melihat dirimu secara jelas. Jangan pula kau balas nasihatku ini dengan raut sedih macam begitu. Mataku tak sanggup menatap kekalahan yang begitu besar. Muram durja itu milik filsuf miskin yang tak punya apa-apa selain kegalauan. Hal yang bahkan tak mengusir lapar walau sedetik saja.

Keinginanmu tulus dari dalam hati, aku tahu itu. Kelak kau tahu ketulusan tak memberimu sekeping uangpun. Sekarang cuma segelintir orang gila saja yang masih memilikinya, dua puluh tahun lagi kata ‘tulus’ pasti terhapus dari kamus bahasa.

Lihatlah, di jalan besar sana karnaval knalpot begitu bingar, muntahan asap jadi latarnya. Di sisi mereka, tepat di atas trotoar, berjalan manusia-manusia lain menghirup cuma-cuma gas karbon monoksida. Jantung mereka dirusak oleh orang lain! Itulah takdir zaman kita. Kemiskinan dan kelemahan sepaket dengan ketidakmujuran dan penghisapan. Kau mau diperlakukan seperti itu?

Lihatlah, tetanggamu itu, si Tuan Besar, mobilnya berjejer indah di garasi. Naik haji sudah berkali-kali, macam pergi ke Dufan saja. Tiap lebaran jembel-jembel berbaris di depan pagar rumah, saling sikut malah, menunggu lembaran sepuluh ribuan dibagikan. Cuma recehan uang segitu buat dia. Menabung pahala untuk akhirat. Dihargai orang sekitarnya, tak berani kepala ditegakkan jika berpapasan.

Tanahnya di desa puluhan hektar. Beli murah dari petani ketika ekonomi jatuh lalu bangun pabrik tekstil. Petani desa tak punya lahan. Sekarang anak pemudanya jadi buruh tanpa perlu pindah ke kota. Kalau upah kurang tinggal minta pinjaman berbunga ke bank Tuan Besar. Kau harus begitu jika ingin sukses, tajam sorot mata kalau lihat peluang.

? ? ? ? ?

Siang itu gelisah datang. Tanpa ampun meghujamkan lusinan pertanyaan. Gontai dibuatnya. Hei, aku ingat kau, yang membalas ajakan kakak sepupumu ikut MLM dengan pernyataan “saya tak ingin kaya”. Kau juga yang melihat debu-debu kemiskinan menempel di dinding-dinding orang desa, betul kan? Itu ada lagi kawan lainnya yang cuma ingin punya rumah di desa. Kita bertukar harapan. Mengutip berulang Gorky “orang gila tak mau mengakui dirinya gila”.

Sederhana betul hasrat kalau tak diturut. Memberi sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan. Membaca, menulis, dan menyebarkan kita punya gelisah. Cukup segitu? Apa itu kegilaan? Nyatanya, memang dianggap begitu. Mari kita lihat, disana Aa Gym berdakwah: “orang Islam jangan ingin kaya, tapi harus kaya”. Indah betul ucapannya, seperti monster yang menghantui ketenangan manusia. Semua berlomba. Mari, mari kumpulkan terus pundi-pundi emas itu. Janganlah hidup tenang sebelum kekayaan menghampiri kalian!

Jatinangor, 25 Juli 2007
Untuk mereka yang mengajari saya hidup sederhana

Nona, Masihkah tak Ingin Menikah??

Bukan Assalamualaikum atau selamat sore, namun “aku jatuh cinta dengan Multatuli”. Teriakan Nona Taman Feurbach menggiring burung-burung keheningan yang sedang bercicit merdu pergi seketika. Saya terpukau kaget. Ada apa gerangan?

“Ternyata ada itu cinta seperti dalam bayanganku, dalam tuturan Multatuli,” jelasnya. “Seperti jalinan antara Jenny dan Marx,” tegasnya. Langsung saja nona berceloteh ria seperti biasa.

Mundur ke masa lalu.

“Aku mungkin tak akan menikah,” kalimat itu keluar dari mulut yang mulai menghitam akibat kebiasaan merokok. Dia mencoba menggurat nasib, menghapus ketidakpastian hari depan dengan sebuah ramalan. Sekali dua kali saya anggap angin lalu saja. Dihapusnya keraguan saya dengan terus mengulang kalimat itu tiap kami mengobrol. Dia serius.

Nona ini menganggap sulit sekali menemukan pasangan yang klop. Bukan secara fisik melainkan secara pemikiran. Masa lalunya dengan beberapa pria memberi segudang pengalaman untuk meneguhkan pendapat tersebut. “Aku mungkin tak akan menikah”.

Sampailah pada suatu perjumpaan. Dengan buku Multatuli dan kolom tanya-jawab asuhan Leila CH Budiman rupanya memberi suar cerah.

“Kadar pemahaman Agama yang setingkat diantara dua pasangan menentukan kelanjutan hubungan. Perbedaan Agama bukan masalah lagi,” kutip nona. Saya manggut-manggut entah setuju atau sekedar refleks.

“Nona, masihkah teguh tak ingin menikah?”.

Mari saya putarkan sebuah lagu sebagai persembahan. “Kenapa bercinta jika kesudahannya pasrah. Karena bila dilamun indahnya tak terkata,” nah itu dia Too Phat dan Siti Nurhaliza berkisah.

Bersiaplah. Negasi sejengkal di atas ubun-ubun. Tadinya saya kira tekad nona sudah pasti, ternyata meluruh juga di udara. All that is solid melts into the air, masih ingat dialektika cinta-menyinta kita malam itu?

16 Agustus 2007
setelah kepulangan Nona dari Taman Feurbach

Sabtu, 28 Juli 2007

Indonesian Idol dan Pilkada Jakarta

Yang satu sudah berakhir, lainnya masih berlangsung. Indonesian Idol dan Pilkada Jakarta. Sekilas, keduanya nampak berbeda. Kalau dilihat dan lalu dipikir lagi ternyata banyak kesamaan.

1. Keduanya merupakan pertunjukan adu kebolehan untuk meraih dukungan. Idol unjuk gigi dengan menghibur pemirsa melalui suara dan koreografi yang apik. Dua hal tersebut berpengaruh besar, selain muka yang aduhai, dalam menarik dukungan. Cagub dan Cawagub tak mau ketinggalan. Mencoba meraih simpati dengan kebolehan umbar janji. Kalau di idol lirik nomor dua setelah suara, untuk Pilkada pitch control dkk tak lebih penting dibandingkan keindahan lirik. Dari awal sampai reff isi nyanyian Cagub dan Cawagub ya cuma janji. Bebas banjir, anti macet, sampai pelestarian budaya. Langsung naik ke tangga lagu nomor satu tanpa perlu jadi bubbling under video seperti para pendatang baru di MTV Ampuh.

2. Peran serta pemilih ditonjolkan. Bermacam slogan digunakan untuk menyukseskan hal ini. Pilkada punya kalimat “suara lo ngaruh banget’. Sedangkan Idol mencobanya dengan kalimat “ingat Anda yang memilih dan Anda yang menentukan”, yang dibacakan host mereka—Daniel dan Ata.
3. Pengamat punya peran yang tidak langsung. Titi DJ, Anang, Indra Lesmana, dan Jamie Aditya. Empat orang yang kadang jadi momok, tak jarang juga merangkul mesra para peserta Idol. Semuanya independen, jadi bisa berlaku seperti itu. Pengamat politik pun seperti itu. Lembaga seperti CSIS atau individu semisal Fadjroel Rachman punya peran yang kurang lebih sama seperti keempat orang juri Indonesian Idol. Pengamat boleh menilai, tapi pilihan tetap di tangan pemirsa dan masyarakat.
4. Isu kesukuan jadi hal yang penting. Mereka yang mendukung Wilson menjadi The Next Indonesian Idol seringkali membawa spanduk yang bertuliskan daerah asal Wilson, Maluku. Nah, kalau di Pilkada Cagub berusaha merangkul tokoh-tokoh aseli Betawi, atau setidaknya mereka yang punya aura Betawi. Anak dari Benyamin Syueb, rombongan keluarga Doel (Rano Karno, Mandra, Basuki, dsb), dan terakhir Bajaj Bajuri (Nani Wijaya dan Mat Solar). Sentimen kedaerahan masih dianggap efektif untuk menjaring massa.
5. Menggunakan simbol dan ruang yang berkaitan dengan Agama. Kedua Cagub yang bertarung sering menebar rayuan dalam ruang dan waktu yang berkaitan dengan agama. Sosialisasi visi dan misi dalam masjid, itu berita terakhir yang saya baca di surat kabar. Agak berbeda dengan kasus Idol. Orangtua Wilson dan Rini, dua kontestan di Grand Final, menyebut nama Tuhannya masing-masing—Yesus dan Allah—di akhir pesan yang disampaikan untuk anaknya.

Fauzi Bowo datang di Result Show Indonesian Idol yang baru selesai beberapa menit sebelum saya menulis. Seperti yang pernah dilakukan Amien Rais dengan mendatangi konser Iwan Fals di Trans TV ketika masa kampanye Pilpres 2004, tujuannya satu: menebar jaring pesona pada para pemilih. Kesan politis kehadiran Foke—panggilan achrab Fauzi Bowo—coba dikurangi dengan disandangnya jabatan Wakil Gubernur, bukannya Calon Gubernur. Setidaknya itulah yang dibacakan Host.

Indonesian Idol 2007 telah berakhir dan melahirkan Rini sebagai ‘idola baru Indonesia’. Pilkada baru tahap kampanye dan masyarakat masih harus menunggu siapakah ‘idola baru Jakarta’? Kita tunggu setelah rayuan gombal dan omong kosong demokrasi berikut ini!

Bogor, 29 Juli 2007
Selepas Result Show Grand Final Indonesian Idol

Minggu, 22 Juli 2007

Asmara Siang Itu

I
Hari itu pagi benar-benar cerah. Tak sedikitpun goresan kelabu mendung menggurat awan. Perihal lain saya malas berangkat ke kampus untuk kuliah. Mata serasa diplester dan kepala berat pula, kuliah pagi adalah bencana. Malam tadi baru sekitaran pukul empat mata menutup. Adzan awal berkumandang dari masjid dekat kosan adalah suara terakhir yang didengar.
Pukul sebelas lewat saya bangun. Menyalakan komputer, memainkan reggae di playslist winamp, menyeduh kopi, dan beradulah mulut dengan ujung filter sigaret. Kuliah selanjutnya masih pukul satu.
Dalam penantian, handphone berbunyi pertanda pesan singkat masuk.
“Al,nganggur ga?Dkosan gw ad si kono lg tkapar sakit niy,”tulis teman saya. Saya balas dengan sebuah janji datang sembari membawa obat, tentunya sepulang kuliah.
Benar-benar tanpa gairah saya pacu motor. Kampus bukanlah tempat yang ingin saya datangi siang ini. Kesialan menimpa menambah kesal hati. Jadwal kuliah diubah menjadi besok, pagi pukul delapan pula. Sudah terbayang besok pagi mata dipaksa menatap seringai licik matahari.
Today is real, tomorrow nonsense. Apa asiknya berandai-andai tentang esok? Yang penting siang ini saya tak perlu tersiksa mendengar dosen mendongeng ngalor-ngidul. Langsunglah meluncur ke kosan seorang karib. Niatnya mengajak menjenguk teman yang sakit tadi.
II
Tak pernah bosan berada dalam kamar itu. Paling suka menatap dalam-dalam foto Sjahrir sedang memijit dahi seolah tenggelam dalam duka. Entah apa masalah apa yang mendera ketika gambar ini diambil. Semasa hidupnya, pasti beliau punya pelik kisah asmara. Apakah itu dalam pikirannya sehingga mimik wajahnya tak seindah cerah pagi ini? Kemungkinan besar bukan.
Kawan saya yang sedang bermasalah. Apa lacur, pendekatannya timbul-tenggelam karena kondisi yang tak menguntungkan untuk melancarkan strategi yang sudah matang digodok sejak malam-malam yang lalu. Rencana hanya menumpuk dalam otak. Terburai sia-sia dihembus bersama deras asap sigaret.
Empati. Saya pernah merasakannya. Dulu, dulu kawan, malam ketika bajigur panas dan nasehatmu menghangatkan dingin harapan. Tak sampai panjang lebar keluhan itu. Motor dilajukan lagi menuju tempat dimana teman saya terbaring lemah. Kali ini berdua, dengan teman di jok belakang motor.
III
Hanya terbaring saja menyambut kedatangan kami. Sejurus kemudian kawan yang sakit itu menegakkan pungungnya. Duduk di atas dipan kayu dan memulai pembicaraan. Diraihnya bungkus berwarna merah-kuning-hitam berisi berbatang-batang rokok. Jari menelisik, meraih sebatang saja. Nyala merah di ujung tembakau.
“Kalau merokok masih enak, tandanya masih sehat,” simpulnya.
Asap berbaur mengiringi tuturan kisah percintaan. Bergejolak pula ternyata beliau didera asmara. Namun, Duka bisa berubah jadi tawa bila dinikmati bersama. Berempat kami duduk membentuk lingkaran mengelilingi tiga gelas teh manis hangat. Bergantian saling bicara dan mendengar. Benar-benar jurus ampuh untuk mengikis gelisah yang perlahan mulai menggumpal dalam dada.
Cerita menemui akhir ketika lembar yang lain mulai dibuka. Sementara yang lainnya bertukar kisah asmara, saya moderator saja. Tak punya perkembangan yang layak dibagi. Jika saja cerita pendek kawan-kawan hari itu dibukukan, tentunya bertemakan elegi. Nyanyian duka mahasiswa meraih pasangan impiannya.
Baik juga jika kumpulan itu dibuatkan sebuah pengantar untuk membukanya. Sekilas saja, mengutip Ahmad Tohari dalam Orang-orang Proyek. “Jika otak banyak bertindak hati terabaikan. Jika hati banyak bermain otak pun tak banyak bekerja”. Itu saja. Cukup untuk melukiskan garis besar kumpulan cerita tersebut.
IV
Beberapa jam sebelumnya kantuk yang tak juga datang mendorong saya untuk menulis. Tak pernah mengira siang itu akan mendengar kisah-kisah menarik para sejawat. Berhubung otak sedang kurang tajam untuk membedah suatu masalah dengan ilmiah, lahirlah tiga bait puisi. Tetesan tinta hitam, segelap rasa ketika itu.
Aku bisa apa?
Kalau Cuma bayangmu,
bukan dirimu
Aku punya apa?
Jika bebas mimpiku
direbut imaji tentangmu
Aku harus apa?
Tak sampai hati suka kuubah jadi luka
(Lalu Apa, Jatinangor, 16 Juli 2007)
Jatinangor, 17 Juli 2007
Buat para penutur cerita hari ini