Minggu, 22 Juli 2007

Asmara Siang Itu

I
Hari itu pagi benar-benar cerah. Tak sedikitpun goresan kelabu mendung menggurat awan. Perihal lain saya malas berangkat ke kampus untuk kuliah. Mata serasa diplester dan kepala berat pula, kuliah pagi adalah bencana. Malam tadi baru sekitaran pukul empat mata menutup. Adzan awal berkumandang dari masjid dekat kosan adalah suara terakhir yang didengar.
Pukul sebelas lewat saya bangun. Menyalakan komputer, memainkan reggae di playslist winamp, menyeduh kopi, dan beradulah mulut dengan ujung filter sigaret. Kuliah selanjutnya masih pukul satu.
Dalam penantian, handphone berbunyi pertanda pesan singkat masuk.
“Al,nganggur ga?Dkosan gw ad si kono lg tkapar sakit niy,”tulis teman saya. Saya balas dengan sebuah janji datang sembari membawa obat, tentunya sepulang kuliah.
Benar-benar tanpa gairah saya pacu motor. Kampus bukanlah tempat yang ingin saya datangi siang ini. Kesialan menimpa menambah kesal hati. Jadwal kuliah diubah menjadi besok, pagi pukul delapan pula. Sudah terbayang besok pagi mata dipaksa menatap seringai licik matahari.
Today is real, tomorrow nonsense. Apa asiknya berandai-andai tentang esok? Yang penting siang ini saya tak perlu tersiksa mendengar dosen mendongeng ngalor-ngidul. Langsunglah meluncur ke kosan seorang karib. Niatnya mengajak menjenguk teman yang sakit tadi.
II
Tak pernah bosan berada dalam kamar itu. Paling suka menatap dalam-dalam foto Sjahrir sedang memijit dahi seolah tenggelam dalam duka. Entah apa masalah apa yang mendera ketika gambar ini diambil. Semasa hidupnya, pasti beliau punya pelik kisah asmara. Apakah itu dalam pikirannya sehingga mimik wajahnya tak seindah cerah pagi ini? Kemungkinan besar bukan.
Kawan saya yang sedang bermasalah. Apa lacur, pendekatannya timbul-tenggelam karena kondisi yang tak menguntungkan untuk melancarkan strategi yang sudah matang digodok sejak malam-malam yang lalu. Rencana hanya menumpuk dalam otak. Terburai sia-sia dihembus bersama deras asap sigaret.
Empati. Saya pernah merasakannya. Dulu, dulu kawan, malam ketika bajigur panas dan nasehatmu menghangatkan dingin harapan. Tak sampai panjang lebar keluhan itu. Motor dilajukan lagi menuju tempat dimana teman saya terbaring lemah. Kali ini berdua, dengan teman di jok belakang motor.
III
Hanya terbaring saja menyambut kedatangan kami. Sejurus kemudian kawan yang sakit itu menegakkan pungungnya. Duduk di atas dipan kayu dan memulai pembicaraan. Diraihnya bungkus berwarna merah-kuning-hitam berisi berbatang-batang rokok. Jari menelisik, meraih sebatang saja. Nyala merah di ujung tembakau.
“Kalau merokok masih enak, tandanya masih sehat,” simpulnya.
Asap berbaur mengiringi tuturan kisah percintaan. Bergejolak pula ternyata beliau didera asmara. Namun, Duka bisa berubah jadi tawa bila dinikmati bersama. Berempat kami duduk membentuk lingkaran mengelilingi tiga gelas teh manis hangat. Bergantian saling bicara dan mendengar. Benar-benar jurus ampuh untuk mengikis gelisah yang perlahan mulai menggumpal dalam dada.
Cerita menemui akhir ketika lembar yang lain mulai dibuka. Sementara yang lainnya bertukar kisah asmara, saya moderator saja. Tak punya perkembangan yang layak dibagi. Jika saja cerita pendek kawan-kawan hari itu dibukukan, tentunya bertemakan elegi. Nyanyian duka mahasiswa meraih pasangan impiannya.
Baik juga jika kumpulan itu dibuatkan sebuah pengantar untuk membukanya. Sekilas saja, mengutip Ahmad Tohari dalam Orang-orang Proyek. “Jika otak banyak bertindak hati terabaikan. Jika hati banyak bermain otak pun tak banyak bekerja”. Itu saja. Cukup untuk melukiskan garis besar kumpulan cerita tersebut.
IV
Beberapa jam sebelumnya kantuk yang tak juga datang mendorong saya untuk menulis. Tak pernah mengira siang itu akan mendengar kisah-kisah menarik para sejawat. Berhubung otak sedang kurang tajam untuk membedah suatu masalah dengan ilmiah, lahirlah tiga bait puisi. Tetesan tinta hitam, segelap rasa ketika itu.
Aku bisa apa?
Kalau Cuma bayangmu,
bukan dirimu
Aku punya apa?
Jika bebas mimpiku
direbut imaji tentangmu
Aku harus apa?
Tak sampai hati suka kuubah jadi luka
(Lalu Apa, Jatinangor, 16 Juli 2007)
Jatinangor, 17 Juli 2007
Buat para penutur cerita hari ini

Tidak ada komentar: