Minggu, 19 Agustus 2007

Hanya Orang Gila Tak Ingin Kaya

Kau tak ingin kaya? Darimana asal pikiran sinting macam itu. Baiklah, teman saya seorang psikiater handal, mungkin beliau bisa membantumu. Ahh, maaf kalau terlalu kasar. Tapi saya kira semacam gangguan jiwa sangat mungkin menimpamu. Psikiater itu pasti bisa menamai penyakit ini.

Ada baiknya buku-buku sejarah itu kausingkirkan. Mereka membawamu pada romantisme. Keindahan komunalisme cuma ada dalam temuan ilmu sosial. Individualisme itu tiang yang sekarang menancap kukuh ke jantung keseharian. Kau lihat cakrawala zaman kita dibentuk gurat-gurat persaingan. Oww, aku tahu pasti ini semacam kepengecutan. Kau takut kekalahanlah yang menutup lembar perjuanganmu, begitu bukan? Pasti, pasti itu!

Aduh, maaf sekali lagi. Kelabu gusar begitu ganas menyelubungi, makanya bicaraku jadi pekat begini. Aku tak bisa lagi melihat dirimu secara jelas. Jangan pula kau balas nasihatku ini dengan raut sedih macam begitu. Mataku tak sanggup menatap kekalahan yang begitu besar. Muram durja itu milik filsuf miskin yang tak punya apa-apa selain kegalauan. Hal yang bahkan tak mengusir lapar walau sedetik saja.

Keinginanmu tulus dari dalam hati, aku tahu itu. Kelak kau tahu ketulusan tak memberimu sekeping uangpun. Sekarang cuma segelintir orang gila saja yang masih memilikinya, dua puluh tahun lagi kata ‘tulus’ pasti terhapus dari kamus bahasa.

Lihatlah, di jalan besar sana karnaval knalpot begitu bingar, muntahan asap jadi latarnya. Di sisi mereka, tepat di atas trotoar, berjalan manusia-manusia lain menghirup cuma-cuma gas karbon monoksida. Jantung mereka dirusak oleh orang lain! Itulah takdir zaman kita. Kemiskinan dan kelemahan sepaket dengan ketidakmujuran dan penghisapan. Kau mau diperlakukan seperti itu?

Lihatlah, tetanggamu itu, si Tuan Besar, mobilnya berjejer indah di garasi. Naik haji sudah berkali-kali, macam pergi ke Dufan saja. Tiap lebaran jembel-jembel berbaris di depan pagar rumah, saling sikut malah, menunggu lembaran sepuluh ribuan dibagikan. Cuma recehan uang segitu buat dia. Menabung pahala untuk akhirat. Dihargai orang sekitarnya, tak berani kepala ditegakkan jika berpapasan.

Tanahnya di desa puluhan hektar. Beli murah dari petani ketika ekonomi jatuh lalu bangun pabrik tekstil. Petani desa tak punya lahan. Sekarang anak pemudanya jadi buruh tanpa perlu pindah ke kota. Kalau upah kurang tinggal minta pinjaman berbunga ke bank Tuan Besar. Kau harus begitu jika ingin sukses, tajam sorot mata kalau lihat peluang.

? ? ? ? ?

Siang itu gelisah datang. Tanpa ampun meghujamkan lusinan pertanyaan. Gontai dibuatnya. Hei, aku ingat kau, yang membalas ajakan kakak sepupumu ikut MLM dengan pernyataan “saya tak ingin kaya”. Kau juga yang melihat debu-debu kemiskinan menempel di dinding-dinding orang desa, betul kan? Itu ada lagi kawan lainnya yang cuma ingin punya rumah di desa. Kita bertukar harapan. Mengutip berulang Gorky “orang gila tak mau mengakui dirinya gila”.

Sederhana betul hasrat kalau tak diturut. Memberi sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan. Membaca, menulis, dan menyebarkan kita punya gelisah. Cukup segitu? Apa itu kegilaan? Nyatanya, memang dianggap begitu. Mari kita lihat, disana Aa Gym berdakwah: “orang Islam jangan ingin kaya, tapi harus kaya”. Indah betul ucapannya, seperti monster yang menghantui ketenangan manusia. Semua berlomba. Mari, mari kumpulkan terus pundi-pundi emas itu. Janganlah hidup tenang sebelum kekayaan menghampiri kalian!

Jatinangor, 25 Juli 2007
Untuk mereka yang mengajari saya hidup sederhana

Nona, Masihkah tak Ingin Menikah??

Bukan Assalamualaikum atau selamat sore, namun “aku jatuh cinta dengan Multatuli”. Teriakan Nona Taman Feurbach menggiring burung-burung keheningan yang sedang bercicit merdu pergi seketika. Saya terpukau kaget. Ada apa gerangan?

“Ternyata ada itu cinta seperti dalam bayanganku, dalam tuturan Multatuli,” jelasnya. “Seperti jalinan antara Jenny dan Marx,” tegasnya. Langsung saja nona berceloteh ria seperti biasa.

Mundur ke masa lalu.

“Aku mungkin tak akan menikah,” kalimat itu keluar dari mulut yang mulai menghitam akibat kebiasaan merokok. Dia mencoba menggurat nasib, menghapus ketidakpastian hari depan dengan sebuah ramalan. Sekali dua kali saya anggap angin lalu saja. Dihapusnya keraguan saya dengan terus mengulang kalimat itu tiap kami mengobrol. Dia serius.

Nona ini menganggap sulit sekali menemukan pasangan yang klop. Bukan secara fisik melainkan secara pemikiran. Masa lalunya dengan beberapa pria memberi segudang pengalaman untuk meneguhkan pendapat tersebut. “Aku mungkin tak akan menikah”.

Sampailah pada suatu perjumpaan. Dengan buku Multatuli dan kolom tanya-jawab asuhan Leila CH Budiman rupanya memberi suar cerah.

“Kadar pemahaman Agama yang setingkat diantara dua pasangan menentukan kelanjutan hubungan. Perbedaan Agama bukan masalah lagi,” kutip nona. Saya manggut-manggut entah setuju atau sekedar refleks.

“Nona, masihkah teguh tak ingin menikah?”.

Mari saya putarkan sebuah lagu sebagai persembahan. “Kenapa bercinta jika kesudahannya pasrah. Karena bila dilamun indahnya tak terkata,” nah itu dia Too Phat dan Siti Nurhaliza berkisah.

Bersiaplah. Negasi sejengkal di atas ubun-ubun. Tadinya saya kira tekad nona sudah pasti, ternyata meluruh juga di udara. All that is solid melts into the air, masih ingat dialektika cinta-menyinta kita malam itu?

16 Agustus 2007
setelah kepulangan Nona dari Taman Feurbach