Bukan Assalamualaikum atau selamat sore, namun “aku jatuh cinta dengan Multatuli”. Teriakan Nona Taman Feurbach menggiring burung-burung keheningan yang sedang bercicit merdu pergi seketika. Saya terpukau kaget. Ada apa gerangan?
“Ternyata ada itu cinta seperti dalam bayanganku, dalam tuturan Multatuli,” jelasnya. “Seperti jalinan antara Jenny dan Marx,” tegasnya. Langsung saja nona berceloteh ria seperti biasa.
Mundur ke masa lalu.
“Aku mungkin tak akan menikah,” kalimat itu keluar dari mulut yang mulai menghitam akibat kebiasaan merokok. Dia mencoba menggurat nasib, menghapus ketidakpastian hari depan dengan sebuah ramalan. Sekali dua kali saya anggap angin lalu saja. Dihapusnya keraguan saya dengan terus mengulang kalimat itu tiap kami mengobrol. Dia serius.
Nona ini menganggap sulit sekali menemukan pasangan yang klop. Bukan secara fisik melainkan secara pemikiran. Masa lalunya dengan beberapa pria memberi segudang pengalaman untuk meneguhkan pendapat tersebut. “Aku mungkin tak akan menikah”.
Sampailah pada suatu perjumpaan. Dengan buku Multatuli dan kolom tanya-jawab asuhan Leila CH Budiman rupanya memberi suar cerah.
“Kadar pemahaman Agama yang setingkat diantara dua pasangan menentukan kelanjutan hubungan. Perbedaan Agama bukan masalah lagi,” kutip nona. Saya manggut-manggut entah setuju atau sekedar refleks.
“Nona, masihkah teguh tak ingin menikah?”.
Mari saya putarkan sebuah lagu sebagai persembahan. “Kenapa bercinta jika kesudahannya pasrah. Karena bila dilamun indahnya tak terkata,” nah itu dia Too Phat dan Siti Nurhaliza berkisah.
Bersiaplah. Negasi sejengkal di atas ubun-ubun. Tadinya saya kira tekad nona sudah pasti, ternyata meluruh juga di udara. All that is solid melts into the air, masih ingat dialektika cinta-menyinta kita malam itu?
16 Agustus 2007
setelah kepulangan Nona dari Taman Feurbach
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
wah, si nona udah ganti lagi yah, udah gak masalah lagi beda agama? keren lah. tapi, gw telat gak yah... ;)
aloe aal.
Posting Komentar