Sabtu, 28 Juli 2007

Indonesian Idol dan Pilkada Jakarta

Yang satu sudah berakhir, lainnya masih berlangsung. Indonesian Idol dan Pilkada Jakarta. Sekilas, keduanya nampak berbeda. Kalau dilihat dan lalu dipikir lagi ternyata banyak kesamaan.

1. Keduanya merupakan pertunjukan adu kebolehan untuk meraih dukungan. Idol unjuk gigi dengan menghibur pemirsa melalui suara dan koreografi yang apik. Dua hal tersebut berpengaruh besar, selain muka yang aduhai, dalam menarik dukungan. Cagub dan Cawagub tak mau ketinggalan. Mencoba meraih simpati dengan kebolehan umbar janji. Kalau di idol lirik nomor dua setelah suara, untuk Pilkada pitch control dkk tak lebih penting dibandingkan keindahan lirik. Dari awal sampai reff isi nyanyian Cagub dan Cawagub ya cuma janji. Bebas banjir, anti macet, sampai pelestarian budaya. Langsung naik ke tangga lagu nomor satu tanpa perlu jadi bubbling under video seperti para pendatang baru di MTV Ampuh.

2. Peran serta pemilih ditonjolkan. Bermacam slogan digunakan untuk menyukseskan hal ini. Pilkada punya kalimat “suara lo ngaruh banget’. Sedangkan Idol mencobanya dengan kalimat “ingat Anda yang memilih dan Anda yang menentukan”, yang dibacakan host mereka—Daniel dan Ata.
3. Pengamat punya peran yang tidak langsung. Titi DJ, Anang, Indra Lesmana, dan Jamie Aditya. Empat orang yang kadang jadi momok, tak jarang juga merangkul mesra para peserta Idol. Semuanya independen, jadi bisa berlaku seperti itu. Pengamat politik pun seperti itu. Lembaga seperti CSIS atau individu semisal Fadjroel Rachman punya peran yang kurang lebih sama seperti keempat orang juri Indonesian Idol. Pengamat boleh menilai, tapi pilihan tetap di tangan pemirsa dan masyarakat.
4. Isu kesukuan jadi hal yang penting. Mereka yang mendukung Wilson menjadi The Next Indonesian Idol seringkali membawa spanduk yang bertuliskan daerah asal Wilson, Maluku. Nah, kalau di Pilkada Cagub berusaha merangkul tokoh-tokoh aseli Betawi, atau setidaknya mereka yang punya aura Betawi. Anak dari Benyamin Syueb, rombongan keluarga Doel (Rano Karno, Mandra, Basuki, dsb), dan terakhir Bajaj Bajuri (Nani Wijaya dan Mat Solar). Sentimen kedaerahan masih dianggap efektif untuk menjaring massa.
5. Menggunakan simbol dan ruang yang berkaitan dengan Agama. Kedua Cagub yang bertarung sering menebar rayuan dalam ruang dan waktu yang berkaitan dengan agama. Sosialisasi visi dan misi dalam masjid, itu berita terakhir yang saya baca di surat kabar. Agak berbeda dengan kasus Idol. Orangtua Wilson dan Rini, dua kontestan di Grand Final, menyebut nama Tuhannya masing-masing—Yesus dan Allah—di akhir pesan yang disampaikan untuk anaknya.

Fauzi Bowo datang di Result Show Indonesian Idol yang baru selesai beberapa menit sebelum saya menulis. Seperti yang pernah dilakukan Amien Rais dengan mendatangi konser Iwan Fals di Trans TV ketika masa kampanye Pilpres 2004, tujuannya satu: menebar jaring pesona pada para pemilih. Kesan politis kehadiran Foke—panggilan achrab Fauzi Bowo—coba dikurangi dengan disandangnya jabatan Wakil Gubernur, bukannya Calon Gubernur. Setidaknya itulah yang dibacakan Host.

Indonesian Idol 2007 telah berakhir dan melahirkan Rini sebagai ‘idola baru Indonesia’. Pilkada baru tahap kampanye dan masyarakat masih harus menunggu siapakah ‘idola baru Jakarta’? Kita tunggu setelah rayuan gombal dan omong kosong demokrasi berikut ini!

Bogor, 29 Juli 2007
Selepas Result Show Grand Final Indonesian Idol

Minggu, 22 Juli 2007

Asmara Siang Itu

I
Hari itu pagi benar-benar cerah. Tak sedikitpun goresan kelabu mendung menggurat awan. Perihal lain saya malas berangkat ke kampus untuk kuliah. Mata serasa diplester dan kepala berat pula, kuliah pagi adalah bencana. Malam tadi baru sekitaran pukul empat mata menutup. Adzan awal berkumandang dari masjid dekat kosan adalah suara terakhir yang didengar.
Pukul sebelas lewat saya bangun. Menyalakan komputer, memainkan reggae di playslist winamp, menyeduh kopi, dan beradulah mulut dengan ujung filter sigaret. Kuliah selanjutnya masih pukul satu.
Dalam penantian, handphone berbunyi pertanda pesan singkat masuk.
“Al,nganggur ga?Dkosan gw ad si kono lg tkapar sakit niy,”tulis teman saya. Saya balas dengan sebuah janji datang sembari membawa obat, tentunya sepulang kuliah.
Benar-benar tanpa gairah saya pacu motor. Kampus bukanlah tempat yang ingin saya datangi siang ini. Kesialan menimpa menambah kesal hati. Jadwal kuliah diubah menjadi besok, pagi pukul delapan pula. Sudah terbayang besok pagi mata dipaksa menatap seringai licik matahari.
Today is real, tomorrow nonsense. Apa asiknya berandai-andai tentang esok? Yang penting siang ini saya tak perlu tersiksa mendengar dosen mendongeng ngalor-ngidul. Langsunglah meluncur ke kosan seorang karib. Niatnya mengajak menjenguk teman yang sakit tadi.
II
Tak pernah bosan berada dalam kamar itu. Paling suka menatap dalam-dalam foto Sjahrir sedang memijit dahi seolah tenggelam dalam duka. Entah apa masalah apa yang mendera ketika gambar ini diambil. Semasa hidupnya, pasti beliau punya pelik kisah asmara. Apakah itu dalam pikirannya sehingga mimik wajahnya tak seindah cerah pagi ini? Kemungkinan besar bukan.
Kawan saya yang sedang bermasalah. Apa lacur, pendekatannya timbul-tenggelam karena kondisi yang tak menguntungkan untuk melancarkan strategi yang sudah matang digodok sejak malam-malam yang lalu. Rencana hanya menumpuk dalam otak. Terburai sia-sia dihembus bersama deras asap sigaret.
Empati. Saya pernah merasakannya. Dulu, dulu kawan, malam ketika bajigur panas dan nasehatmu menghangatkan dingin harapan. Tak sampai panjang lebar keluhan itu. Motor dilajukan lagi menuju tempat dimana teman saya terbaring lemah. Kali ini berdua, dengan teman di jok belakang motor.
III
Hanya terbaring saja menyambut kedatangan kami. Sejurus kemudian kawan yang sakit itu menegakkan pungungnya. Duduk di atas dipan kayu dan memulai pembicaraan. Diraihnya bungkus berwarna merah-kuning-hitam berisi berbatang-batang rokok. Jari menelisik, meraih sebatang saja. Nyala merah di ujung tembakau.
“Kalau merokok masih enak, tandanya masih sehat,” simpulnya.
Asap berbaur mengiringi tuturan kisah percintaan. Bergejolak pula ternyata beliau didera asmara. Namun, Duka bisa berubah jadi tawa bila dinikmati bersama. Berempat kami duduk membentuk lingkaran mengelilingi tiga gelas teh manis hangat. Bergantian saling bicara dan mendengar. Benar-benar jurus ampuh untuk mengikis gelisah yang perlahan mulai menggumpal dalam dada.
Cerita menemui akhir ketika lembar yang lain mulai dibuka. Sementara yang lainnya bertukar kisah asmara, saya moderator saja. Tak punya perkembangan yang layak dibagi. Jika saja cerita pendek kawan-kawan hari itu dibukukan, tentunya bertemakan elegi. Nyanyian duka mahasiswa meraih pasangan impiannya.
Baik juga jika kumpulan itu dibuatkan sebuah pengantar untuk membukanya. Sekilas saja, mengutip Ahmad Tohari dalam Orang-orang Proyek. “Jika otak banyak bertindak hati terabaikan. Jika hati banyak bermain otak pun tak banyak bekerja”. Itu saja. Cukup untuk melukiskan garis besar kumpulan cerita tersebut.
IV
Beberapa jam sebelumnya kantuk yang tak juga datang mendorong saya untuk menulis. Tak pernah mengira siang itu akan mendengar kisah-kisah menarik para sejawat. Berhubung otak sedang kurang tajam untuk membedah suatu masalah dengan ilmiah, lahirlah tiga bait puisi. Tetesan tinta hitam, segelap rasa ketika itu.
Aku bisa apa?
Kalau Cuma bayangmu,
bukan dirimu
Aku punya apa?
Jika bebas mimpiku
direbut imaji tentangmu
Aku harus apa?
Tak sampai hati suka kuubah jadi luka
(Lalu Apa, Jatinangor, 16 Juli 2007)
Jatinangor, 17 Juli 2007
Buat para penutur cerita hari ini