Jumat, 21 Desember 2007

Dari Ladang Derita, Dia Petik Buah Manis Kebahagiaan

Sendal pijat dari kayu dengan tonjolan-tonjolan seperti barisan kapsul sebesar ibu jari, melayang. Berhenti dan jatuh di lantai setelah beradu dengan tembok kamar. Sedetik lalu melayang persis di samping kaki saya yang reflek melompat. Putaran tangannya, tangan ibu saya, masih hebat seperti ketika menyabet berbagai piala kejuaraan badminton, tenis meja, dan voli saat perayaan HUT RI beberapa tahun lalu. Ketepatannya belum berkurang, karena dia masih senang berlatih. Hanya saja, siang itu, saya bukan lawan yang ingin dikalahkannya dengan smash-smash tajam. Saya hanya anak nakal yang membuat kesal hati ibunya. Tubuh kecil saya bergetar setelah bunyi dakk akibat benturan sendal dengan tembok, ibu melengang pergi ke luar kamar. Meninggalkan sendal yang luput.

Lemparan itu menghilang ketika saya beranjak besar. Mengakrabi dunia coba-coba anak SMP. Bolos, merokok, alkohol Ibu tak pernah tahu kecuali hal yang pertama. “Aal, biar papa yang ngurus, mama udah nggak sanggup lagi,” intonasinya sama seperti tahun-tahun yang lalu. Kelopak mata saya basah, sesal tertunda menitik, air mata yang tak pernah ke luar saat lemparan barang luput atau tamparan keras memerahkan pipi saya. Malam itu saya memilih dilempar atau ditampar saja, jangan keluar kalimat itu dari mulutmu, ibu.

Dua puluh satu tahun lalu. Seorang perempuan dengan janin berusia sembilan bulan, jatuh dari becak. Kepalanya membentur bemper belakang truk. Beberapa jam kemudian sejarah tercatat: dari empat kali kelahiran, kali ini yang paling lama dan menyulitkan.

Tak pernah terpikir di otaknya, betapa sulit melahirakan dan membesarkan anak. Sepertinya lebih sulit dari tahun-tahun perjuangan beliau saat ditinggal ibu yang meninggal dan bapak yang dibui akibat tragedi politik paling kejam di Indonesia. Dia hidup bersama ibu tiri. Sampai dua puluh tahun kemudian bapaknya dibebaskan dengan tanda ET di Kartu Tanda Penduduk.

Pagi sebelum berangkat sekolah, nasi harus sudah masak. Sebuah sepeda tua dikayuh, menyusuri jalanan Jogja menuju sekolah tanpa sepeserpun uang saku. Kadang roda berhenti di sebuah kuburan Cina. Perempuan itu tertidur setelah sehari kemarin pekerjaan begitu berat. Mengaduk puluhan loyang kue, mencuci baju sendiri, membeli baju lalu menjualnya lagi.

Ya, sejak lama ibu berjualan pakaian. Karir yang sudah dirintisnya sejak masih duduk di Sekolah Dasar. Umur dua belas, Surabaya dia datangi bersama adik lelaki yang umurnya masih enam tahun dan sekarung pakaian dari Ps. Beringharjo. Tak ada alamat lengkap, hanya petunjuk lisan menempel di ingatan. Modal yang kemudian digunakannya saat jadi kurir ke Jakarta.

Orang-orang Ps. Beringharjo, seperti juga pedagang Mester dan Tanah Abang, sudah pada tahu. Perempuan itu masih jualan baju sampai sekarang, untuk biaya sekolah empat anaknya.

Jadi penjaga karcis PJKA pernah juga dia jalani. Tak bisa dia jadi pegawai kantoran, cuma tamat SMA dengan angka merah berjejer di ijazah dan rapor. Ya, dia senang tidur di kuburan cina saat jam pelajaran.

Kesehatannya jauh menurun, dibandingkan ketika muda dulu. Ibu masih keras kepala jika diminta jangan bekerja terlalu berat. Semangatnya tak pernah mengkerut meski uban satu-satu memenuhi rambut. Dan kerut di wajahnya semakin nampak, aah saya ingat janji membelikannya Oil of Ulan jika dapat gaji pertama. Kerut-kerut yang nampak indah jika semua anaknya berkumpul saat liburan.

Dia tak pernah melempar sendal pada adik saya. Sesekali saja saya lihat air mata menitik membasahi pipi dan mukenanya di dua pertiga malam. Kepalanya menyandar di tembok, suara lirih, dan terbata. Di doa ibu kudengar ada namaku disebut.

Bogor, 21 Desember 2007

Tidak ada komentar: