Filosofi New Age, yang bentuknya bisa kita lihat sekarang melalui praktek ESQ, percaya bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Saya menganggap hal itu ada benarnya, tapi tidak banyak. Sejauh ini pengetahuan dan pengalaman yang membuat saya beranggapan: manusia dibentuk oleh kondisi sosial tempat dia hidup. Penjelasannya, meskipun tak terlalu jelas, sudah ditulis kemarin-kemarin dalam Hanya Orang Gila Tak Ingin Kaya.
Orang miskin mencuri karena tak ada secuil nasipun yang bisa dia makan hari ini; Mahasiswa mencontek saat ujian karena sistem perkuliahan membuatnya membuang jauh-jauh arti penting proses, tujuannya semata-mata hasil akhir. Sekarang, mari bicara masalah wanita.
Wanita adalah komoditi, barang dagangan. Maaf sekali jika kaum feminis terganggu dengan ini. Sebenarnya ini masih bisa digugat karena berupa asumsi saja. Tapi, setidaknya asumsi ini ada landasannya.
Mari kita buka lembar-lembar majalah remaja wanita. Dengan mudah bisa ditemukan cara tampil cantik dan menawan. Semuanya pake duit, sekali lagi duit. Pemutih kulit, pemulas bibir, pewangi badan, penghitam rambut, dan pakaian yang manis untuk membungkus tubuh aduhai. Semuanya dibeli satu saja tujuannya: menaikkan harga di pasaran.
Semakin banyak uang dikonsumsi untuk menghasilkan suatu barang, semakin tinggi harga. Itu logika ekonomi. Logika ekonomi juga menjelaskan semakin banyak penawaran semakin tinggi harga. Satu hal lagi yang memengaruhi harga adalah hubungannya dengan barang dagangan lain yang serupa. Berarti, dalam kasus ini wanita satu dengan wanita lainnya.
Bagaimana ‘menilai’ harga seorang wanita? Di majalah gaul kampus FIKOM ada rubrik profil. Di box kecilnya Anda bisa lihat track record pacaran. Semakin sering gonta-ganti pacar berarti semakin tinggi harganya. Wanita yang sudah dua belas kali pacaran, harganya lebih tinggi dibandingkan yang baru dua kali pacaran.
Itu satu sisi saja. Kenyataan lain mengatakan, ada juga wanita mahal yang track recordnya tak semanis parasnya. Bukan para lelaki yang buta mata, namun belum ada tawaran yang sesuai. Harga yang diajukan terlalu rendah, bisa rugi kalau begitu. Jenis ini cenderung menunggu tawaran dengan harga yang sesuai.
Menunggu bukannya diam. Sambil terus tebar pesona pada para ‘penawar’ yang belum berani mengajukan harga, mereka berusaha memertahankan penawar-penawar sebelumnya. Bahasa anak gaul menyebut sikap itu ‘tak mau kehilangan fans’.
Dari tadi saya mencoba menyamakan wanita dengan barang dagangan. Sebenarnya, dua hal itu berbeda. Kesadaran membuatnya tak sama. Wanita punya kesadaran yang punya dua wajah berbeda: ingin tampil seperti Laudya Chintya Bela yang rajin ke salon dan beli baju di butik sehingga bisa diperdagangkan di Sinetron atau gadis biasa yang eksotis dan tak mau disamakan dengan barang dagangan. Beberapa sadar dan tahu betapa hinanya berakhir seperti beras yang tak laku dan dibuang ke Samudra luas. Mereka ‘tak mau kehilangan fans’ seperti Eva Arnas yang lapuk dimakan ketuaan.
Inilah perdagangan semu yang tidak kita sadari. Penampakannya halus, tak seperti perdagangan wanita untuk dijadikan pelacur. Dalam kasus ini bukan germo yang bersalah, tapi mereka sendiri. Merekalah yang menjadikannya tak lebih seperti beras tak laku yang layak dibuang ke Samudra luas.
Hehehe, maaf ya mba, mpok, neng, non khususnya para pembela harkat dan martabat wanita (maksud saya perempuan, karena banyak yang tak suka disebut wanita)...sekedar urun-rembug saja. Jangan gusar, pria pun banyak yang menjadikan dirinya barang dagangan.
PS: sebenarnya keinginan menulis komodifikasi wanita sudah ada sejak lama. Tapi, keran pemahaman belum juga terbuka. Sore ini, dalam himpitan kekecewaan saya mendengar rekaman diskusi Herry Priyono, aliran amarah mampu juga menjebol keran itu...hahaha
Cikeruh, 2 Oktober 2007
Orang miskin mencuri karena tak ada secuil nasipun yang bisa dia makan hari ini; Mahasiswa mencontek saat ujian karena sistem perkuliahan membuatnya membuang jauh-jauh arti penting proses, tujuannya semata-mata hasil akhir. Sekarang, mari bicara masalah wanita.
Wanita adalah komoditi, barang dagangan. Maaf sekali jika kaum feminis terganggu dengan ini. Sebenarnya ini masih bisa digugat karena berupa asumsi saja. Tapi, setidaknya asumsi ini ada landasannya.
Mari kita buka lembar-lembar majalah remaja wanita. Dengan mudah bisa ditemukan cara tampil cantik dan menawan. Semuanya pake duit, sekali lagi duit. Pemutih kulit, pemulas bibir, pewangi badan, penghitam rambut, dan pakaian yang manis untuk membungkus tubuh aduhai. Semuanya dibeli satu saja tujuannya: menaikkan harga di pasaran.
Semakin banyak uang dikonsumsi untuk menghasilkan suatu barang, semakin tinggi harga. Itu logika ekonomi. Logika ekonomi juga menjelaskan semakin banyak penawaran semakin tinggi harga. Satu hal lagi yang memengaruhi harga adalah hubungannya dengan barang dagangan lain yang serupa. Berarti, dalam kasus ini wanita satu dengan wanita lainnya.
Bagaimana ‘menilai’ harga seorang wanita? Di majalah gaul kampus FIKOM ada rubrik profil. Di box kecilnya Anda bisa lihat track record pacaran. Semakin sering gonta-ganti pacar berarti semakin tinggi harganya. Wanita yang sudah dua belas kali pacaran, harganya lebih tinggi dibandingkan yang baru dua kali pacaran.
Itu satu sisi saja. Kenyataan lain mengatakan, ada juga wanita mahal yang track recordnya tak semanis parasnya. Bukan para lelaki yang buta mata, namun belum ada tawaran yang sesuai. Harga yang diajukan terlalu rendah, bisa rugi kalau begitu. Jenis ini cenderung menunggu tawaran dengan harga yang sesuai.
Menunggu bukannya diam. Sambil terus tebar pesona pada para ‘penawar’ yang belum berani mengajukan harga, mereka berusaha memertahankan penawar-penawar sebelumnya. Bahasa anak gaul menyebut sikap itu ‘tak mau kehilangan fans’.
Dari tadi saya mencoba menyamakan wanita dengan barang dagangan. Sebenarnya, dua hal itu berbeda. Kesadaran membuatnya tak sama. Wanita punya kesadaran yang punya dua wajah berbeda: ingin tampil seperti Laudya Chintya Bela yang rajin ke salon dan beli baju di butik sehingga bisa diperdagangkan di Sinetron atau gadis biasa yang eksotis dan tak mau disamakan dengan barang dagangan. Beberapa sadar dan tahu betapa hinanya berakhir seperti beras yang tak laku dan dibuang ke Samudra luas. Mereka ‘tak mau kehilangan fans’ seperti Eva Arnas yang lapuk dimakan ketuaan.
Inilah perdagangan semu yang tidak kita sadari. Penampakannya halus, tak seperti perdagangan wanita untuk dijadikan pelacur. Dalam kasus ini bukan germo yang bersalah, tapi mereka sendiri. Merekalah yang menjadikannya tak lebih seperti beras tak laku yang layak dibuang ke Samudra luas.
Hehehe, maaf ya mba, mpok, neng, non khususnya para pembela harkat dan martabat wanita (maksud saya perempuan, karena banyak yang tak suka disebut wanita)...sekedar urun-rembug saja. Jangan gusar, pria pun banyak yang menjadikan dirinya barang dagangan.
PS: sebenarnya keinginan menulis komodifikasi wanita sudah ada sejak lama. Tapi, keran pemahaman belum juga terbuka. Sore ini, dalam himpitan kekecewaan saya mendengar rekaman diskusi Herry Priyono, aliran amarah mampu juga menjebol keran itu...hahaha
Cikeruh, 2 Oktober 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar