Kemarin dulu sudah ditulis bagaimana semangat zaman merasuki saya dalam tulisan Hanya Orang Gila Tak Ingin Kaya. Kalau begini terus keadaanya, mengutip tulisan tersebut “dua puluh tahun lagi kata ‘tulus’ pasti terhapus dari kamus bahasa”. Sekarang ditemukan lagi sebuah kata yang dirasa akan hilang juga, yakni kejujuran.
Ini juga sudah merasuki kita semua, tak terkecuali saya. Kejujuran semakin surut saja. Semester tiga saya “menulis ada hal yang kadangkala perlu kita lebihkan, kurangkan, manipulasi, semuanya demi kenyamanan, kelangsungan hidup kita”. Sekarang ini orang berbohong untuk bertahan hidup. Kepalsuan sudah merasuk sampai tulang sumsum! Sialan!
Yang terberat tentunya jujur pada diri sendiri. Kalau ini saja tak bisa dilakukan, maka rasa bersalah dan kegalauan tak mau lepas menyelimuti sudut-sudut hidup kita. Pertama sekali dia bersalah pada dirinya, dan lalu pada orang lain.
Mereka yang berbohong memertahankan tetek-bengek remeh akan digilas roda sejarah. Akan membusuk dan menimbulkan bau tak sedap buat hidung orang-orang di sekitarnya. Runtuh sudah harga dirinya tak bersisa.
Mata saya tak bisa lagi mencerap keindahannya; hidung saya tak mendengus lagi harum namanya. Tak sanggup, kebusukan tak sanggup lagi ditutupi. Selesai sudah, stop sampai disini saja! Kau telan bulat-bulat buah yang kau tanam dari ladang kebohongan!!!
Tapi, jujur saja saya tak sepenuhnya kecewa dibohongi. Enam puluh persen saya terpukul jika. Sisa empat puluh persennya harapan agar kau tidak berbohong untuk memertahankan hal-hal yang sekedar recehan saja dalam hidup. Mudah-mudahan...
PS: Nona Feurbach rela menelan bulat-bulat sepahit apapun kebohongan daripada dibohongi, sungguh luar biasa. Perbincangan kita malam itu bukan karena saya takut menatap wajah kebenaran, sebab Rasullullah pun mewajibkan umatnya bicara benar, sepahit apapun itu! Cuma mencoba melihat saja sejauh apa berbohong dibenarkan...hehe.
Cikeruh, 1 Oktober 2007
Amarah Mendera
Ini juga sudah merasuki kita semua, tak terkecuali saya. Kejujuran semakin surut saja. Semester tiga saya “menulis ada hal yang kadangkala perlu kita lebihkan, kurangkan, manipulasi, semuanya demi kenyamanan, kelangsungan hidup kita”. Sekarang ini orang berbohong untuk bertahan hidup. Kepalsuan sudah merasuk sampai tulang sumsum! Sialan!
Yang terberat tentunya jujur pada diri sendiri. Kalau ini saja tak bisa dilakukan, maka rasa bersalah dan kegalauan tak mau lepas menyelimuti sudut-sudut hidup kita. Pertama sekali dia bersalah pada dirinya, dan lalu pada orang lain.
Mereka yang berbohong memertahankan tetek-bengek remeh akan digilas roda sejarah. Akan membusuk dan menimbulkan bau tak sedap buat hidung orang-orang di sekitarnya. Runtuh sudah harga dirinya tak bersisa.
Mata saya tak bisa lagi mencerap keindahannya; hidung saya tak mendengus lagi harum namanya. Tak sanggup, kebusukan tak sanggup lagi ditutupi. Selesai sudah, stop sampai disini saja! Kau telan bulat-bulat buah yang kau tanam dari ladang kebohongan!!!
Tapi, jujur saja saya tak sepenuhnya kecewa dibohongi. Enam puluh persen saya terpukul jika. Sisa empat puluh persennya harapan agar kau tidak berbohong untuk memertahankan hal-hal yang sekedar recehan saja dalam hidup. Mudah-mudahan...
PS: Nona Feurbach rela menelan bulat-bulat sepahit apapun kebohongan daripada dibohongi, sungguh luar biasa. Perbincangan kita malam itu bukan karena saya takut menatap wajah kebenaran, sebab Rasullullah pun mewajibkan umatnya bicara benar, sepahit apapun itu! Cuma mencoba melihat saja sejauh apa berbohong dibenarkan...hehe.
Cikeruh, 1 Oktober 2007
Amarah Mendera
1 komentar:
heh, nulisnya pake amarah siy.. jadinya salah tugh, urang mah gak rela menelan bulat2 kebohongan sepahit apapun itu.
Posting Komentar