Sabtu, 29 September 2007

Bapak

Pembicaraan biasanya tak jauh-jauh soal keuangan. Uang bulanan habis sebelum waktunya, atau fotokopi dan tugas ini-itu butuh dana. Hubungan saya dan bapak memang tak terlalu baik. Setidaknya jika seringnya komunikasi dijadikan ukuran. Mungkin gengsi seorang lelaki yang membuat saya mencoba menghindari pembicaraan dengannya. Penyebab lainnya, bapak orang yang terlalu serius dan kaku menghadapi hidup. Begitupun kalau beliau bicara, penuh tetirah mengenai cara hidup sukses. Beda dengan saya yang lebih sering bermain-main dengan pilihan dan tak begitu suka dengan ukuran ‘sukses’ bapak.

Tapi, kemarin dulu tulisan untuk ibu sudah dibuat. Diposting di blog baru beberapa bulan kemudian karena isinya terlalu sentiimentil. Rasanya tak adil kalau bapak tak ditulis juga.

Banyak orang yang sudah kenal bapak sejak masa muda, bilang kami berdua punya muka serupa. Saya tak pernah percaya sampai suatu ketika membuktikannya sendiri. Sebuah ijazah SMA dengan pas foto hitam-putih di pojok kanan bawah, diperlihatkan pada saya. Ternyata betul yang dikata orang.

Wajah kami memang mirip, tidak begitu dengan sifat dan perilaku. Bapak anak baik yang jarang, atau bahkan tak pernah, berbuat onar. Tak pernah saya dengar cerita macam begitu, dari mulutnya atau dari mulut orang lain. Kalau orang cerita, bapak jadi sosok anak muda yang ideal di mata mereka. Dia anti kenakalan remaja.

Masa mudanya dihabiskan dengan belajar dan bekerja. Dua itu saja. Hidup tanpa ayah membuatnya jadi seorang remaja pekerja keras. Mulai bengkel motor sampai dagang asongan. Sampai sekarang berbagai keahlian masa muda itu, beliau belum lupa. Mengecat rumah, memerbaiki instalasi listrik, mengencangkan rantai motor yang kendur, dikerjakan sendiri kalau ada waktu luang. Kalau saya sedang di rumah, diajarkannya keahlian-keahlian itu supaya pekerjaan bisa dilimpahkan.

Bapak tak begitu pandai. Nilai ijazah SMA-nya tak menonjol. Isinya Cuma angka enam dan tujuh. Jurusan Kimia Universitas Gajah Mada dipilihnya untuk melanjutkan studi. Lulus delapan tahun!

Beliau lalu cari kerja. Impiannya: TELKOM. Teman seperjuangannya diterima, dia tidak. Melanglangbuana sampai terdampar di sebuah perusahaan Korea. Gajinya boleh dibilang tinggi untuk ukuran tahun 80-an. Dia memilih keluar kemudian. Bukan lantaran tak puas dengan gaji, tapi karena emoh jadi kacung orang asing. Sempat ditawar mengajar kimia di SMA Al-Azhar pusat. Dia tolak lagi. “Ngajar anak SMA ngak berkembang ilmunya,” begitu kilahnya.

Pemberhentian terakhir di sebuah akademi kimia yang berlindung di bawah Departemen Perdagangan dan Perindustrian. Letaknya di Bogor. Bapak jadi dosen, sampai sekarang dengan upah tak seberapa besar. Konon hanya berbeda beberapa ratus ribu saja dengan saudara-saudara saya yang jadi guru SD di Jakarta. Saya tak pernah mengeceknya meskipun memerlihatkan slip gaji itu kebiasaan di keluarga saya. Dulu, buat saya pilihan-pilihan yang bapak buat mengenai pekerjaan terdengar aneh. Sekarang saya maklum. Dalam kasus ini, Bapak termasuk orang yang mengajari saya bersikap.

Universitas Indonesia, almameter Bapak yang kedua. Mendalami Kimia Anorganik (sampai sekarang saya tak tahu betul apa yang dipelajarinya). Saya sudah lahir dan baru berumur beberapa tahun ketika itu. Walau sudah kerja, nampaknya keuangan keluarga banyak dibebani dengan studi Bapak. “Dosen pembimbing sampai kasih uang buat ongkos pulang sehabis sidang tesis di Salemba,” ratapnya.

Umur Bapak sekarang sudah kepala lima. Tiga anaknya masih kuliah dan satu masih SD, makanya beliau masih harus bekerja keras dari satu kampus ke kampus lain. Hari Minggu pun tak luput dari mengajar. Motor bebek tahun 96 jadi teman setianya.

Waktu luang dia pakai main Badminton. Seminggu bisa sampai tiga kali. Kalau sore hari ada di rumah, biasanya sibuk merawat tanaman. Dia suka bungga anggrek. Anggrek pertamanya mati di tangan saya—karena tak dirawat meskipun sudah dititipkan—ketika beliau pergi Haji.

Bapak punya harapan besar untuk anak lelaki pertamanya, saya. Dia tampak girang sore itu, saya bilang “mau jadi Dosen, seperti Bapak”.

Cikeruh, 26 September 2007

Tidak ada komentar: