Asbak sudah penuh terisi. Malam hamil tua. Nanti suara sang muadzin menyambut surya yang menggeliat keluar dari kegelapan rahim. Saya diam, lalu mengetik. Diam lagi. Membaca, mengetik, dan kembali diam. Selalu seperti itu, malam ke malam. Hanya malam yang sanggup.
Empat lebih lima belas. Persalinan segera dimulai. Malam kehabisan daya dan saya tak ingin melihat kelahiran hari dengan mata yang masih nyalang. Selimut ditarik. Selamat tinggal malam. Kutinggalkan kau dengan kepala tertunduk. Mata menutup.
Bukankah kelahiran itu menyakitkan? Butuh tenaga dan keberanian untuk menerima sesuatu yang baru, begitu?
Malam, jangan kau tebus pagi dengan nyawamu. Tak sanggup kau penuhi pintaku? Biarlah sekedar mata diselimuti gelapmu saja, dalam tidur pulas.
Dan matahari merangkak lamat. Mengambil nyawa embun tetes demi tetes. Pagi bersabda, “cintailah keutuhan, nasibmu. Jadilah penuh dengan berdamai dengan nasib. Lampaui siang-malam, gelap-terang, keruh-bening, sulit-senang, hitam-putih. Buka lebar-lebar tangamu menyambut pagi yang baru. Jangan kau larut dalam malam, usah pula tinggalkan dia”.
21 Agutus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar