Sabtu, 29 September 2007

Perjalanan, Sebuah Pengakuan

Zaman bertukar musim berganti, manusia pun berubah. Betul memang, taka ada yang hadir tanpa penyebab. “Ting” seperti sulap itu omong kosong saja.
Masa lalu saya terselip dalam lembaran-lembaran binder tua. Catatan ini, secara lengkap ataupun secuil saja, baru dua orang yang dipersilahkan membacanya, Nona Feurbach dan si Pengeluh. Nona Feurbach mendorong saya untuk mempublikasikannya. “Usaha untuk menghargai proses dan dialektika,” begitu ujarnya. Tapi tetap saja tak ditulis ulang semuanya. Alasannya, antara malas dan malu.

Sedikit catatan dari masa lalu. Pengharapan dan pertanyaan tentang masa depan.

?????

I. Masa SMA

Hidup saat ini menjadi hanya seperti sampah. Terlalu banyak kesenjangan, diskriminasi, penindasan, dan kecurangan berkedok malaikat. Dunia menjadi terlalu sempit untuk perubahan. Tak ada kesempatan, yang ada cuma uang dan kekuasaan. Orang-orang kaya terlalu sombong untuk mau berbagi.
Terlalu lama dan mustahil untuk kaum tertindas menunggu campur tangan negara. Politik hanyalah politik. Hanya politik dengan omong kosong di dalamnya yang benar-benar menjadi sebuah politik. Dalam siding-sidang negara hanya ada BULLSHIT!!!! Taka ada jalan untuk rakyat kecil selain bergerak sendiri, do it yourself. Bangkit dan bersatu demi masa depan yang lebih baik

Bogor, 9 Desember 2003
22.03

sedih juga lihat berita Alm. Ersa Siregar. Orang yang punya idealisme dan dedikasi tinggi buat pekerjaannya. Salut buat beliau. Dia bekerja tak hanya dalam lingkup Jurnalistik, tapi juga respek sama penderitaan di daerah konflik. Bisa ngak gw kaya beliau? Gw rasa anak-anaknya bakalan bangga punya ayah sehebat dia yang peduli banget sama anak-anaknya, sampai sampai nyempetin diri nelpon buat nanya SPMB (walau dari daerah konflik, lagi ditahan GAM). Buat gw hal-hal seperti itu punya influence besar, karena gw juga pengen jadi wartawan.
Yang jelas, gak peduli nanti jadi apa, yang gw harus ambil sisi positif beliau: dedikasi tanpa kenal rasa takut. Terakhir gw Cuma bisa berdoa mudah-mudahan Allah menempatkan Alm Ersa Siregar dalam golongan orang-orang yang Ia cintai…amin

Malem Rebo, 30 Des 2003
9.24 Waktu kamar

Hari dengan kemunduran semangat! Hidup semakin berat dan mulai tumbuh rasa frustasi. Banyak perjuangan yang berakhir sia-sia. Hasil yang gw terima sering jauh dari harapan. Mimpi terbentur kenyataan. Buat bangkit boleh dibilang susah karena cuma secuil semangat yang tersisa dalam dada!!
Lelah rasanya ngejalanin hidup yag monoton. Gw butuh perubahan; gw butuh menikmati hidup gw sendiri; gw bosen jadi beban orang lain. Tekanan-tekanan harus bisa gw jadiin semangat

GET UP STAND UP, STAND UP FOR YOUR LIFE

Senin,150304
20.10

Ga ada hal yang cukup penting dan ngeganggu, ordinary day. Hal-hal mulai bersahabat. Mungkin karena depresi mulai berkurang. Semangat baru tumbuh seiring usaha buat keluar dari keadaan yang ngak bersahabat.
Hari ini gw selesai baca buku Kromo Kiwo, Mereka yang Tak Pernah Menyerah, yang gw beli kemaren. Hal-hal yang bisa gw tangkep:
….
isinya keren karena ceritanya tentang eks-Tapol dan seputar basis PKI di Yogya.
pledoi orang-orang yang pernah jadi korban politik Orde Baru
… (bagian ini agak berbau SARA, jadi tidak dicantumkan…hehe)
ngajarin bahwa ada resiko yang harus kita tanggung terhadap jalan dan pilihan hidup yang kita ambil.
Tapi satu yang masih jadi pertanyaan mendasar, walau gw udah baca beberapa buku pro-kontra PKI: “sebenernya PKI itu bersalah atau tidak (mungkin yang saya maksud waktu itu dalam konteks G30S).

Bisingnya hidup coba kurenungi dalam hening. Menyedihkannya diriku coba kutulis dalam kata yang jauh dari dusta. Hanya lembaran-lembaran yang mungkin 10 tahun lagi aku lupakan yang tahu jelas diriku saat ini. Allah tahu aku coba berubah, Allah pun tahu diriku lebih dari diriku sendiri. Kuharap besok lembar-lembar ini masih bisa jadi koreksi bagi diriku; bercerita tentang sukses, bukan lagi kegalauan. Kuharap esok tangan ini bisa menghasilkan hal-hal yang berguna. Amin.

Rabu, 170304
21.26-21.59


II. Legegnya (Sombong) Mahasiswa Semester Awal

Aku temukan bahwa aku menunggu untuk disingkap. Untuk ditelanjangi oleh waktu segala kebohonganku. Untuk diotopsi kepalsuan yang merasuk sampai ke tulang-tulangku…

Aku temukan bahwa aku terasing. Keterasingan yang membuatku berdiri di atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensiku. Keterasingan yang menghadirkan pertanyaan akan masa datang di depan wajahku. Secuil pun aku belum bisa bayangkan seperti apa…

19 ke depan tentunya akan berbeda. Aku harap aku lebih siap ditelanjangi. Lebih bisa menghargai keterpisahan melalui sebuah penyatuan. Lebih mampu menjawab 19 lain yang berdiri di depan wajahku…

Aku kini 19 langkah mendekati penyatuan…mudah-mudahan.

Ps: semakin hari aku semakin tak menemukan makna esensial Hari Ulang Tahun. Buatku ini hanyalah satu keanehan masyarakat…

14 Juli 2005

perihal sesat atau bukan, menyesatkan atau tidak, saya artikan itu sebagai kuasa kita untuk menulis sejarah…ada hal yang kadangkala perlu kita lebihkan, kurangkan, manipulasi, semuanya demi kenyamanan, kelangsungan hidup kita. Walaupun Tuhan memanifestasikan dirinya dalam ruh, jiwa, atau lembaran-lembaran suci, selalu ada usaha untuk memertanyakannya. Tapi, apakah suatu sistem kepercayaan (Agama misalnya) begitu berpengaruh terhadap hubungan manusia dengan Tuhan? Apa jiwa, ruh, rasio begitu liar dan tak terarah dan membutuhkan suatu pagar agar ia tetap berada dalam tempat yang semestinya…

Bogor, 19 Juli 2005
Dinihari

Ada seorang kawan yang mengirim pesan singkat ke HP saya. Isinya secara garis besar adalah bahwa sosialisme bukan sebuah mimpi. Ia juga menulis bukan tak banyak orang miskin, dan sosialisme bukan tidak ada arti…
Saya kembali bertanya tentang sosialisme. Ketakpercayaan terhadap bentuk ideologi apapun saat ini, membuat saya ingin menyumpahi bentuk apapun ideologi. Bukankah ideologi hanyalah class-idea dari ruling class? Toh selalu muncul sempalan-sempalan yang mewarnai sejarah ideologi – bukti bahwa ideologi cuma berhala yang disembah dan bukan hal yang absolut. Bukankah kekuatan ideologi terletak pada struktur, bukan kemasukakalannya. Itu adalah bukti bahwa ideologi menyuntik kesadaran kita untuk ikut dalam struktur dan meminggirkan keunikan kita demi kepentingan ‘bersama’ atau kepentingan ruling-class yang termaktub dalam ideologi
Ya, mungkin ini karena kurang wawasanku dibanding temanku tadi…

010805, Bogor, 21:35

…Mungkin saja ketakutan, kecemasan, lahir dari ketidapasrahan saya pada tindakan. Belum sempurnya kesadaran pada tahap religius seperti yang dipahami Kierkegaard.
Atau mungkin saya terlalu egois. Mencampakkan pilihan-pilihan yang diberikan hidup. Dan karena saya tervonis bebas, saya lebih memilih untuk tenggelam dalam masalah ini. Saya tenggelam dan berlarut-larut…

25 Agustus 05
Waktu Zuhur Jatinangor

…benar bila kita berjalan dengan kaki, bukan otak. Tapi perasaan kadang membuat kita ingin meminggirkan logika sejenak. Mengikuti kemana kaki ingin melangkah, tanpa ingin tahu tujuannya.

Jatinangor, 9 September 2005
Menjelang Ashar

?????

Nah, saya temukan juga secarik kertas yang agak kusut, mungkin karena terlipat-lipat. Isinya puisi, sungguh surealis!

Sunset 25 Januari

Laut menunggu ombak bergulir
berderu gaungnya dalam hatiku
berseru, aku malu
hanya bisa diam, lagi
ombak kini tinggi menggapai menguasai diriku
habis aku lebur, hilang
kini kamu dan dirimu menutup dibalik awan
aku pergi dan kau disitu tersenyum, aku tahu
seperti senja, hanya menanti
dan diam, lagi

Yogyakarta, 25 Januari 2005
Halangi sunset yang kunanti
Pie to dab?! (bagaimana sih kamu?!—terj)

Ditulis ulang 27 September 2007

Tidak ada komentar: