Jakarta memang neraka, saya benar-benar merasakannya kali ini. Hari itu, minggu, lazimnya orang-orang ibukota pelesir ke Puncak Bogor atau Bandung sana, dan saya yang besar di Bogor lalu kuliah di Bandung bisa melengang mulus di jalanan Jakarta tanpa terganggu oleh kemacetan yang sudah rutin disini ketika hari kerja. Kenyataannya tidak begitu.
Mobil meninggalkan daerah Pancoran menyusuri jalan tidak seberapa lebar, menuju ke daerah mana saya lupa. Jam sudah menunjukkan sekitar pukul tiga dan matahari masih galak seperti jam 12 tidak pernah beranjak sedetikpun. Saya membuka kaus tipis yang apek karena dicumbui keringat.
Bertelanjang dada saya mengiringi Candil bersenandung, “kapan ku punya pacar, kapan ku punya pacar,” dan drakk. Benjolan aspal membuat bergetar pemutar compact disc Pioneer abu-abu 12 cd yang dipasang di bawah laci mobil sebelah kiri. Lagu berhenti diganti nada timur tengah mengalun tanda pesan singkat masuk ke Siemens saya.
“Haduh knp dbliiin?yawda nanti gw gantiin ya say..jgn marah ya say.”
“gw g btuh uang lu. Jrang2 gw maen k Jkt,qta kan udh lma g ktemu.Tpi,klw mang g bsa g ush gnti duitny,gw g smiskin itu,non..hehe” tombol send ditekan.
Faktanya, saya belum punya tiket. Taktik saja, supaya teman saya itu mau menemani saya nonton acara musik Jazz yang rutin diselenggarakan setahun sekali oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Saya penggila reggae dan tak begitu menikmati Jazz. Tapi, saya penikmat musik, apapun genrenya. Di Indonesia pagelaran Jazz yang tiketnya dihargai puluhan ribu cuma ada sekali setahun, Jazz Goes to Campus. Itu yang membuat saya mau jauh-jauh ke Jakarta cuma untuk nonton sebuah konser musik.
Langit sudah ramah. Tidak panas tidak pula hujan. Mobil bergerak lagi, tanpa nyala air conditioner kali ini, karena jarum penanda bensin sudah sampai di titik E. Empty.
“Pokoknya ente harus lakuin itu. Ini kesempatan jarang. Ke Bogor pun ane anter. Kalau ente sampai ga lakuin, ganti nih duit bensin,” gurau teman saya mengancam sehabis mengeluarkan dua lembar ratus ribuan di sebuah pom bensin yang letaknya dekat dengan bilangan Ps. Minggu. Ya, saya ke Jakarta menumpang. Betul-betul baik kawan saya itu. Sudah ditumpangi, mau mengantar ke Bogor pula.
“Al, gw udh di jln nech. Janji yah gw plgin jgn mlm2.awas loh..”
“nyawa gw taruhannya,” balas saya
Ba’da Maghrib. Untuk menemukan tempat parkir teman teman saya sampai harus memutar mobil tiga kali, sekali keluar UI lalu masuk lagi. Bahu jalan sudah penuh dan kami menemukan sebuah tempat lowong di boulevard, empat ratus meter dari gerbang, sekitar satu kilometer dari Fakultas Ekonomi.
“Al beli ponstan”, “Al beli aqua jg.cptn udah skt gi9i bech...oia permen jg soalnya gw takut minum obat sndrian.he2 maap ia kebnykn ia he2”
Saya masuk ke alfamart, beli sebungkus Djarum Super, sebotol aqua, dan sebotol nuGrentea. “Ada ponstan, mbak?” saya harap-harap cemas. Nihil. Lucu juga ada alfamart di dalam kampus, di Unpad ini tidak (mungkin juga belum) terjadi. Komersialisasi Kampus belum separah Jakarta dimana setiap hal diukur dengan lembar-lembar uang. Bagus, berarti pedagang-pedagang kecil itu masih bisa tetap hidup.
Seorang wanita dengan kaus oblong dan celana jeans berdiri di atas meja yang terletak di tengah-tengah area ticket box. “Tiket sold out,” ulangnya beberapa kali. Gimana ya, kacau ini, ketahuan sudah bohong saya. Tidak ada tiket dan ponstan, saya harus ngomong apa nanti.
Sekitar sejam menunggu sambil duduk-duduk dan foto-foto, akhirnya kesepakatan dicapai. Tiket Cuma ada satu. Teman lelaki saya menggunakan tiket bekas, saya pakai tiket asli, dan teman saya yang perempuan sudah punya cap di lengannya hasil dari menempelkan cap yang masih basah dari adik kelasnya. Strategi berhasil.
Kami bertiga berpisah di dalam. Teman lelaki saya langsung menuju main stage bersama dua orang lainnya, sementara saya dan teman perempuan saya berdua saja. Jitu.
JGTC dua tahun lalu tidak seramai kali ini. Sebuah neon box besar bertuliskan Three Decades of Jazz Goes to Campus; Celebration of Inspiration terpampang di dekat bunderan FE yang ramai oleh pengunjung yang duduk-duduk sambil mengobrol. Di tengah bunderan, lampu kelap-kelip diuntai seperti membuat rangka payung, mengelilingi sebuah tiang tempat lampu warna-warni berbentuk huruf J-G-T-C dipasang vertikal. Pawang hujan tampaknya sukses karena hujan tak menambah semarak acara hingga penampil terakhir menyelesaikan lagunya di pangung.
“Laper ni, cari makan dulu ya,” perut teman saya merajuk rupanya. Sepuluh meter dari bunderan, stand makanan berjejer. “Jangan pancake, nggak kenyang. Gw laper banget nih,” silahkan saja nona, malam ini semua mau Anda saya turuti.
“Gw gak makan, kopi aja,” ujar saya sambil memesan segelas nesface panas yang dijual di sebelah stand tempat teman saya memesan. “Gua mau milo kaleng,” pinta teman saya sambil memesan makanan di stand samping. Saya keluarkan selembar dua puluh ribuan dari saku kanan dan membayarnya. Lima puluh ribuan terakhir saya ditepisnya, dia yang membayar untuk dua porsi makanan yang terlalu mahal dihargai Rp.26 ribu.
“Umur berapa lu mau nikah?” teman saya membuka pembicaraan sambil menyuap sendok kesekian melewati bibir merah jambunya. Saya keget namun mencoba tersenyum. Seperti berkah yang datangnya terlalu cepat, berkah yang jadi bencana.
“Hmmm, nggak tau. Gw gak suka menargetkan hidup. Selama gw senang hari ini, hari besok gak dipikirin. Cukup. Gw lebih senang begini, hidup bebas dari target,” sebisa mungkin saya cari kalimat yang pas sambil pikiran saya menerka apa yang ada di balik pertanyaan tersebut. Suara penampil dari main stage terdengar, “lagu berikutnya tentang seorang pria yang setia dengan janjinya”.
Aduh, dia tanya soal hubungan. Tanya saya sejarah pers Indonesia, kita bisa semalaman membicarakannya, tapi jangan soal hubungan karena saya belum punya jawabannya. Saya tak berminat membahasnya denganmu, nona. Dan kamu, pasti tak berminat membahas beberapa kesalahan Pramoedya mengurai sejarah Tirto Adhisoerjo dalam tetraloginya. Yah, kita memang berbeda. Kupikir, aku yang selalu mencoba menyesuaikan diri denganmu meski ketakutan itu terus menetak. Kenapa kau gerus keindahan malam ini dengan pertanyaan macam itu.
Sudahlah, bung, jangan dibiarkan terus gelisah itu berkecamuk, nikmati saja malam ini. Huff, untungnya dia tak tahu probbing dan tak memberondong saya dengan dengan pertanyaan lanjutan.
Setengah sebelas malam, mobil menyusuri aspal basah tol Jagorawi yang terus didera hujan. Setengah jam berikutnya mobil menyusuri jalan-jalan kecil di sebuah kompleks perumahan elite Bogor. Saya masih hapal jalan tikus disini meski sudah setahun lebih tak melewatinya.
“Kompleks elite nih. Orang-orang kaya Bogor tinggal disini. Cuma ada tiga kompleks perumahan elit di tengah kota Bogor: ini, daerah Dadali, sama Taman Kencana. Ki Gendeng Pamungkas tinggal di daerah sini,” tukas saya pada teman lelaki yang sedang memegang kemudi.
“Apaan sih lu. Biasa aja kali, lu selalu gitu,al. Pehitungan sama gw,” teman perempuan saya yang duduk di jok belakang langsung emosi dibilang tinggal di kompleks perumahan elite. Dia memukul-mukul tubuh dan kepala saya yang duduk persis di depannya.
“Buat nelpon Dewi bisa, ko gw nggak? Sakit hati gw,” saya tak bisa melihat ekspresinya ketika bicara seperti itu. Saya tak tahu teman perempuan saya itu serius atau tidak.
Saya ingin mejawabnya ketika kita berpisah di pagar rumahmu, tapi tak tahu harus dengan kalimat seperti apa. Pun bapak-bapak itu, yang nongkrong-nongkrong di depan pagar rumahmu, kehadirannya betul-betul menganggu saya.
“Gimana nyong?” teman lelaki saya rupanya sudah tak sabar mendengar kalimat yang saya katakan waktu mengantar teman perempuan saya masuk ke rumah.
“Dia nanya gw balik ke Bogor ngak Minggu depan, pengen ngajak jalan lagi. Gw bilang ‘iya’. Ketemu lagi minggu depan. Masih memesona dia,” jawab saya seadanya.
“U make a dark nite so wonderful, thx..hehe. Jgn mrah yak, tdi gw boong udh pnya tiket spaya lu mw dtg,” saya kirim pesan singkat sebagai tanda terima kasih kepada perempuan itu.
Saya khusyuk di depan komputer. Main Football Manager 2008 sambil mendengarkan mp3 dari Winamp. Cinta Sudah Lewat-nya Kahitna dapat bagian bersenandung beberapa saat setelah Kencan Pertama dan Jikalau-nya Naif. Dia dan janji itu masih membayang meski pertemuan itu sudah lewat seminggu. Saya tak menepati janji yang diucap seminggu lalu.
“Berikan aku senyuman satu malam saja, jangan kau tawarkan sebuah hubungan, nona,” saya ingin jujur padanya. Kalimat itu ingin saya bisikkan ke telinganya yang berpahat giwang bundar biru muda malam itu. Andai, andai saja malam itu kau mencecar terus, kukeluarkan kalimat pamungkas itu.
Jatinangor, 4 Desember 2007